Selasa, 07 April 2009

UU Harus Melindungi Hak Asasi

Sejak hasil pleno Mahkama Konstitusi mengabulkan permohonan judicial review 19 Juni 2007, UU Praktik Kedokteran mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Gandhi Estrada Atwanto, mahasiswa Kedokteran UMM, menuturkan, revisi UU tersebut bersifat relatif, artinya, hukuman yang diberikan harus sesuai dengan kadar pelanggarannya, apakah pelanggaran tingkat disiplin ilmu, etika atau profesi. ”UU harus disesuaikan dengan tiga hal tersebut,” ujarnya

Menurut Gandhi, pelanggaran yang dilakukan dokter dalam disiplin ilmu, maka hukumannya disekolahkan lagi. Kalau melanggar etika, hukumannya sekolah dan denda. Untuk pelanggaran profesi diberi hukuman dikeluarkan dari keanggotaan IDI karena setiap dokter pasti menjadi anggota IDI, didenda dan penjara.

Pria 21 tahun itu menjelaskan, yang termasuk pelanggaran disiplin ilmu yakni berkaitan dengan protap Standard Operasional Prosedur (SOP), ketika melaksanakan operasi pada pasien. Pelanggaran etika, berkaitan dengan moral atau masalah batiniah. “Misalkan seorang dokter yang tidak memperhatikan masalah sekitar, tidak mau berinteraksi padahal masyarakat sekitar membutuhkannya itu melanggar etika,” ujarnya semangat.

Untuk pelanggaran profesi lanjut Gandhi, misalnya dokter umum yang melakukan diagnosa yang seharusnya hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis. Padahal, dokter umum seharusnya hanya melakukan hal-hal yang bersifat umum saja, karena diagnosa yang sampai mendalam itu wewenang dokter spesialis.

Lain halnya dengan Roisatul Mukaromah, mahasiswa Fakultas Ekonomi UMM itu melihat dari perspektif berbeda. Menurut mahasiswa asal Blitar itu, adanya pembatasan tempat praktek bagi dokter pada satu sisi memang efektif untuk menciptakan pemerataan tempat praktek bagi dokter. ”Tapi hal ini menjadi kurang relevan jika kita menengok masyarakat di daerah pedalaman, mereka tidak memiliki dokter yang praktik di daerahnya” tutur mahasiswi yang sedang menyelesaikan skripsinya itu.

Terkait hukuman bagi pelanggaran yang dilakukan dokter, wanita yang akrab dipanggil Rois itu mengatakan, akan lebih baik jika hukuman tersebut lebih ditekankan pada tanggung jawab sepenuhnya oleh dokter yang melakukan pelanggaran. ” Ini berarti pasien benar-benar terlindungi dan terjamin kesehatan serta keselamatannya, jika terjadi pelaggaran,” ungap Rois.

Berbeda dengan Rois dan Gandhi, Fatimah Mirzana, mahasiswi jurusan Bahasa Inggris UMM mengaku, tidak setuju dengan adanya revisi UU Praktek Kedokteran. Menurutnya, seorang dokter memang harus bertanggung jawab untuk menyelamatkan pasien. Manusia memang tidak pernah lepas dari kesalahan, namun hal tersebut bukan merupakan alasan agar dokter lepas dari tanggung jawabnya.

“Mestinya bukan UU yang direvisi, tapi kemampuan profesionalitas dokter yang harus ditingkatkan, karena itu bagian terpenting untuk menjalankan profesi mereka” tegas mahasiswi semester dua dengan nada tinggi.

Diana Kartika Sari, dokter gigi yang berpraktik di UMM Medical Center, mengomentari adanya hukuman bagi pelanggaran yang dilakukan dokter, hal tersebut menurut Diana, sebagai peringatan bagi dokter agar bisa lebih mawas diri dan berhati-hati dalam menjalankan prakteknya. ”Dalam hal ini, berati pasien juga sudah lebih pintar karena mereka benar-benar dilindungi haknya oleh UU,” tutur Diana.

Sedangkan Kapala Humas Pengadilan Negeri Kota Malang, Hutabarat, mengaku, selama dirinya bertugas, belum pernah menemui kasus pelanggaran bidang kedokteran. Terkait UU praktik Kedokteran sendiri, ia mengaku belum dapat menjelaskan secara gamblang karena ia juga kurang mencermati  perkembangan UU itu sendiri. ”Hanya saja menurutnya, tujuan dibuatnya UU adalah untuk mengatur dan  melindungi hak institusi atau individu dengan tidak memberatkan institusi atau individu lainnya,” jelasnya. dr/mg_wink/pmg_ddn/hst

 

 

Tidak ada komentar: