Selasa, 07 April 2009

Remaja dan Pergeseran Budaya Malu

Remaja dan  Pergeseran Budaya Malu

Oleh: Hari Windu Asrini

 

Di sebuah desa yang cukup makmur, ada suami-istri yang baru sebulan menikahkan putri kesayangan mereka. Pasangan  itu kaya raya meski penghasilan resminya tiap bulan tidak terlalu besar. Pada suatu malam, sang menantu duduk termenung di ruang tengah. Ibu mertua, yang memang dikenal sangat sayang kepada menantunya, langsung mendekatinya.

“Ibu lihat, kamu sering termenung dan bersedih. Apa ada yang kurang dari keluarga di sini ?”, tanyanya.

“ Tidak ada, ibu,” jawab sang menantu sambil menggelengkan kepala.

 Lalu tersenyum.

“Kamu tidak usah bersedih. Jika kamu membutuhkan sesuatu, langsung katakan kepada ibu, atau Bapak. Di keluarga sini kamu boleh minta apa saja. Hanya satu yang tidak bisa kamu minta di sini,” kata sang ibu.

Sang menantu terdiam, mengernyitkan dahinya seolah sedang berpikir keras. Beberapa saat kemudian ia berkata, “Apa satu hal yang tidak boleh saya minta itu, Ibu?”

“ Malu. Kamu jangan minta malu di sini. Sebab, di sini sudah sangat krisis rasa malu.

 

           

Itulah salah satu anekdot dalam artikel tulisan Mundzar Fahman (wartawan  Jawa Pos), beberapa tahun silam yang masih ‘membekas’ dalam ingatan saya.  Betapa tidak, sindiran tersebut sangatlah ‘telak’ (mestinya), lantaran setiap saat dalam kehidupan masyarakat kita mencuat beberapa fenomena yang mewakilinya, mulai dari kasus pejabat dengan perilaku ‘tidak terhormat’ (korupsi, kolusi, atau berskandal), hingga rakyat dengan polah tingkah kriminal dan bejad (perampokan, pemerkosaan hingga pembunuhan). Kasus-kasus itu  mengindikasikan betapa saat ini rasa malu menjadi semacam ‘barang langka’ hampir di semua kalangan, tidak terkecuali di kalangan generasi muda, khususnya remaja.          Rasa malu, yang notabene dulu dinilai sebagai salah satu karakteristik masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa timur tampaknya semakin hari tampak mulai terkikis. Berlindung di balik trend gaya hidup, dan ketakutan akan dinilai feodal ketinggalan zaman atau ‘nggak gaul’  banyak pihak menafikan rasa malu sebagai salah satu karakteristik perilaku ketimuran tersebut. 

            Pada remaja, berbagai fenomena  tersebut terkesan ‘dilegalkan’ karena alasan definitif remaja yang sering diartikan sebagai masa transisi atau pencarian jati diri, sehingga sah-sah saja melakukan apa saja termasuk tidak mengindahkan rasa malu. Hal tersebut didukung oleh anggapan lazim bahwa dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dirinya, remaja dalam prosesnya cenderung melakukan identifikasi diri untuk mendapatkan pengakuan eksistensinya dan untuk menghilangkan keragu-raguan tentang identitas dirinya. Proses identifikasi yang dilakukan, lazimnya melalui penggalian dari berbagai objek atau individu di luar dirinya. Fatalnya,  identifikasi diri semisal terhadap ‘seseorang yang diidolakan’, terkadang kurang atau tidak didasari oleh pertimbangan moral, salah satu perwujudannya dalam hal berpenampilan.

            Bukan hal yang aneh lagi tampaknya, kaum muda kita saat ini sedang demam dengan busana yang serba bebas dan lebih berani menampilkan lekuk bentuk tubuh karena  keketatannya, busana dengan kerah meruncing ke arah belahan dada, atau celana atau rok dengan ban pinggang yang melorot berubah menjadi ban pinggul sehingga tampak depan kelihatan pusar. Style mode  berbusana yang berkembang saat ini memang bukan seratus persen ‘kesalahan’ pemakai atau konsumennya semata, produsen, dan semua pihak, serta sermua sistem yang berkembang tampaknya besar andilnya dalam membangun budaya masyarakat dalam berbusana dengan style yang menafikan rasa malu.,  meskipun secara kasat mata tentunya model busana tersebut jelas-jelas sangat jauh dari tuntunan agama.

Munculnya model berbusana tersebut, biasanya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang mengalami pergeseran sosial secara cepat yang tidak diimbangi dengan perkembangan rohani yang terisi dengan kematangan iman., misalnya karena alasan sekedar ikut-ikutan trendnya agar tidak dibilang ndeso atau ‘katrok’ (meminjam istilah  Thukul Arwana). Padahal jika mau berpikir sedikit berdasarkan nuraninya, mereka-mereka yang terjebak dalam style mode tersebut pasti akan tumbuh rasa malu lantaran telah mempertontonkan auratnya. Namun sekali lagi, tampaknya ‘budaya malu’ tersebut lari entah kemana.  Yang pasti itulah sebagian potret karakter budaya masyarakat kita sekaligus permasalahan kita saat ini, khususnya pada generasi muda kita. Adakah kita akan tetap berpangku tangan ? kehilangan ‘rasa malu’ dan enjoy aja memalukan diri sendiri dan  ‘memalukan’ kemanusiaan kita sendiri?

Salah satu hal yang terus terjadi dalam kehidupan adalah adanya pergeseran nilai. Setiap hari suka atau tidak suka telah terjadi perubahan, pertumbuhan, perkembangan, dan pergeseran-pergeseran hampir di semua aspek kehidupan secara serentak. Ada yang terlihat, namun banyak pula yang tidak kasat mata, ada yang tidak kita kehendaki, ada yang tidak kita setujui,  ada yang tidak kita perlukan karena tidak memiliki guna , bahkan ada pula pergeseran yang mampu membelokkan kita pada apa yang terasa salah.

 Tampak kecenderungan bahwa norma berinteraksi, khususnya berkaitan dengan perilaku berpacaran  di kalangan kaum muda telah mengarah pada kategori berperilaku bebas dalam seksual atau menjurus ke arah  melakukan hubungan seks pra-nikah.  Sarlito Wirawan  Sarwono (1981:27) pernah meneliti tentang perilaku berpacaran di kalangan remaja Jakarta. Penelitian itu menunjukkan hasil bahwa dalam berpacaran tidak hanya sebatas pada jalan berduaan atau berpegangan tangan, tetapi sudah mengarah ke perilaku mencium bibir, memegang buah dada, alat kelamin, bahkan melakukan senggama. Tak terkecuali dengan penelitian lain yang sejenis.

Menelusuri jejak penyebab munculnya fenomena tersebut, tampaknya selain alasan  eksternal yang bersifat mempengaruhi pemunculannya, semacam pengaruh lingkungan, pengaruh globalisasi atau alasan klise yang lain,  secara bijak tentunya juga harus diakui bahwa andil terbesar adalah faktor internal individu yang bersangkutan. Dalam diri setiap individu atau manusia sebenarnya sudah ada mekanisme penyesuaian yang dapat berjalan baik, kalau  segala fungsi budinya juga berjalan baik. Namun karena adanya keunikan pada pribadi masing-masing individu,  tidak semua kaum muda berperilaku ideal, karenanya kasus-kasus ‘tak kenal rasa malu’ itupun tentunya tidak dilakukan oleh kaum muda secara keseluruhan, melainkan hanya oleh mereka yang tergolong ‘oknum’.

 Mengapa ‘oknum’ tersebut melalukan hal tersebut? Menjawab pertanyaan itu, barangkali salah satu jawabannya dapat kita pinjam dari pernyataan almarhum  Nurcholish Madjid, yang menyatakan bahwa “Pondasi daya tahan suatu bangsa terletak pada kekuatan etikanya. Di sana benar dan salah, baik dan buruk , memiliki batas yang sangat tegas”.  Tampaknya  nilai etika itulah yang mulai bergeser, dan kecenderungan bergesernya  bukan  dalam derajat yang kecil, melainkan melebar  bahkan menjauh dari ‘titik pusat’  agama selaku titik kontrol perilaku. Banyak kebiasaan kaum muda menunjukkan perilaku yang kurang memperhitungkan sisi baik dan buruk, apalagi salah dan benar.  

Tengok saja pada tayangan acara reality show semacam Katakan Cinta, H2C, Back Street, , Kontak Jodoh, Playboy Kabel, atau Cinta Lama Bersemi Lagi, yang kesemuanya menyajikan tentang ‘hiruk pikuk’ cinta remaja yang mengindikasikan bahwa persoalan  percintaan  adalah bukan lagi hal yang suci, sakral dan ditabukan, melainkan  hal biasa yang bisa sembarang dipaparkan di depan khalayak, dapat ‘diburu’ oleh siapapun, diperoleh dengan jalan apa pun, termasuk dengan mengorbankan ‘rasa malu’ bahkan mengorbankan harga diri, yang penting dapat dicapai dan direngkuh. 

  Semakin sirnanya batasan etika dalam komunitas kita tampaknya dipicu oleh dilupakannya falsafah atau nilai luhur budaya kita sendiri. Salah satu contoh,  falsafah  Jawa  terkait dengan tiga hal , yakni empan, papan, dan winiraos. Kata ‘empan, papan, dan winiraos’ bermakna perlunya seseorang memperhitungkan waktu, tempat, pertimbangan rasa  yang tepat, dalam segala hal yang akan dilakukannya. Kalau dalam istilah sosiolinguistik barangkali mirip dengan pandangan Hymes, bahwa ada elemen berakronim SPEAKING (Setting, Participan, End, Act, Key, Instrument, Norm, dan Genre). 

 Namun, tampaknya hal-hal yang demikian, saat ini sangat dinikmati oleh kaum muda kita, dan hal tersebut benar-benar mengukuhkan ‘ketakutan’  kita bahwa  rasa malu itu telah tiada. Jika sastrawan besar kita, Taufik Ismail lewat curhat MAJOI- nya ,  menyatakan “Malu Aku Jadi Orang Indonesia  barangkali seiring dengan  peringatan hari jadi Indonesia saat ini, tentunya satu hal yang perlu kita bangkitkan kembali adalah ajakan “ Hai Orang Indonesia Kembalikan Rasa Malumu yang Tidak Memalukanmu  dan Jangan Mempermalukan Dirimu!” .  

Adapun  salah  satu kiat yang dapat kita lakukan dengan merujuk kembali pada salah satu falsafah  Jawa yang masih relevan dengan perkembangan zaman adalah dengan selalu ingat bahwa ‘penghargaan’ terhadap  seseorang sangat ditentukan oleh bagaimana cara ia berbicara, berpenampilan, dan berperilaku sebagaimana terangkum dalam makna  falsafah:

“ajining dhiri saka lathi”

 “ajining raga saka busana”

“ajining awak saka tumindak”

Dra. Hari Windu Asrini, M.Si staf pengajar di Jurusan Bahasa Indonesia  FKIP UMM

 

Tidak ada komentar: