Selasa, 07 April 2009

Isu negara Federal

ANTARA SEPARATISME DAN NASIONALISME YANG SESUNGGUHNYA

 

Separatisme politis adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain). atau istilah yang lebih netral adalah determinasi diri.

.Gerakan separatis biasanya berbasis nasionalisme atau kekuatan religius. Selain itu, separatisme juga bisa terjadi karena perasaan kurangnya kekuatan politis dan ekonomi suatu kelompok. Daerah Basque di Spanyol, yang belum merdeka selama berabad-abad lamanya, mengembangkan kelompok separatis yang kasar sebagai reaksi terhadap aksi penindasan yang kasar oleh rezim Francisco Franco. Hal yang sama terjadi di Ethiopia dimana para pemberontak Eritrea lebih marah terhadap despotisme dan korupsi daripada sebuah negara Eritrea yang tidak mempunyai sejarah yang panjang.

Banyak negara yang telah pecah belum lama ini karena gerakan separatis, Dosen Sosiologi UMM Ahmad Habib mengungkapkan, menurut data, negara yang telah memisahkan diri dari negara kesatuan yaitu, Cekoslowakia menjadi Republik Ceko dan Slovakia, Ethiopia pemisah Eritrea, Indonesia pemisah Timor Timur, Yugoslavia menjadi Bosnia, Kroasia, makedonia, slovenia dan Serbia Montenegro, Uni Soviet menjadi Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kirgizia, Latvia, Lithuania, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina dan Uzbekistan,

Akhir-akhir ini, di Indonesia muncul kembali isu separatis pada daerah, alasan ketidakpuasan terhadap pemerintahan agaknya yang membuat beberapa daerah dengan beberapa tokoh didalamnya membangkitkan gerakan pemisahan diri dari NKRI dan ingin mempunyai kedaulatan sendiri., selain itu adanya sentimen etnik, merasa tanah leluhurnya dikelola oleh orang eks pribumi (bukan penduduk asli) dan hasil bumi mereka tidak bisa mensejahterakan rakyat pada daerah tersebut, sehingga timbul pemikiran mengolah sumber daya sendiri diyakini dapat lebih mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya

Lebih lanjut menurutnya, persoalan kesejahteraan yang dirasa kurang dirasakan, masalah ekonomi yang serba menyulitkan rakyat di daerah, adanya pembangunan yang tidak merata (sentralisasi) dan kerinduan pada kebesaran bangsanya (daerah) pada masa silam menjadikan kemunculan gerakan ini, serta adanya Globalisasi, ” Pada dasarnya, sikap kritis masyarakatlah yang cepat atau lambat, akan menghidupkan wacana negara federal (upaya memisahkan diri dari negara kesatuan), sikap ini muncul seiring dengan adanya perkembangan informasi yang sudah masuk pada daerah” ungkap dosen yang menyelesaikan S2-nya di University of Michigan USA ini.

Habib mencontohkan, Singapura menjadi lebih maju dan berkembang setelah melepaskan diri dari Malaysia. ”Masyarakat daerah tahu tentang realitas tersebut sehingga muncul keinginan mengikuti langkah Singapura, Indonesia sulit memakmurkan daerah dan cenderung pembangunan dan kesejahteraan terfokus pada kota-kota besar saja, hal ini wajar terjadi karena negara ini terlalu besar, sehingga manajemenya sulit” tegas dosen kelahiran Banyuwangi ini.

Menanggapi maraknya gerakan separatis pada daerah, Habib berpandangan gerakan mereka bertahap, jika birokrasi masih seperti sekarang cepat atau lambat mereka akan bisa mewujudkan sebagai negara federal. Peluang kesana besar, ”Pemerintah perlu memikirkan bentuk negara federasi sebagai solusi gerakan ini, atau kalau tidak dengan desintregasi damai, negara bukan dogmatis, sehingga perlu adanya dialog untuk membicarakan bentuk pemerintahan dan tidak ada harga mati dalam persoalan ini” imbuhnya.

Hilangnya Makna Nasionalisme  

Ada wacana baru tentang nasionalisme, separatis dianggap sebuah ekspresi nasionalisme etnik (ethnic nationalism). Yakni sentimen dari anggota-anggota suatu ethnonation yang dimobilisasi untuk memperjuangkan kedaulatan bagi komunitas etnik mereka. Ethnonation merujuk pada komunitas orang yang memaknakan identitas politik mereka dengan mengklaim hak untuk menjalankan kedaulatan. Nasionalisme etnik mendapat legitimasinya dari budaya, bahasa, suku, ras, agama, pengalaman sejarah, atau mitos nenek moyang yang sama, dan menggunakan berbagai kriteria itu untuk memasukkan atau mengeluarkan orang ke dalam dan dari kelompok nasional. Hal ini menurut dosen Ilmu Pemerintahan UMM Krisno Hadi, yang kemudian disebut sebagai nasionalisme primer, dimana bersifat kultural, orisinil dan ditetapkan.

Yang kedua adalah nasionalisme artivisial yaitu yang dirajut melalui lintas etnik yang terbangun secara politik, dan separatis adalah sebagai upaya menegakkannya. Separatis berangkat dari ketidakpuasan daerah kepada pemerintah, melihat adanya ketimpangan ekonomi, budaya, publik. Dan juga adanya realitas sosial berupa distribusi Sumber Daya Alam dan juga Sumber Daya Sosial yang masih terjadi ketimpangan, dalam perspektif pemerintah, Desentralisasi sebagai respon pemerintah pusat memberi lokalitas (bagi ruang daerah), sebagai upaya pencegahan gerakan separatis, ”adanya perlakuan istimewa pada Aceh karena dukungan internasional yang kuat, ini menimbulkan Assimetrik Desentralisasi (desentralisasi yang berbeda) resikonya adanya kecemburuan daerah lain” ungkap dosen kelahiran pacitan ini.

 Upaya yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan cepat meyakinkan daerah bahwa dengan tetap bergabung menjadi NKRI akan mendapat kesejahteraan,  Desentralisasi sebagai solusi, karena dengan itu lokalitas bebas berekspresi (kebijakan responsif), ”jika pemerintah gagal dalam hal ini, maka kepercayaan dengan NKRI akan berkurang bahkan hilang, oleh karenanya secepatnya harus diadakan perbaikan sistem” lanjut dosen yang menyelesaikan S-1 di UNS ini.

Sejauh ini pemerintah pusat dan daerah salah memaknai Desentralisasi (miss perseption), Desentralisasi bukan internal pemerintah yang dipindah ke daerah. ”tapi sepertinya sekarang pemerintah sudah mulai hati-hati, desentralisasi diletakkan di kabupaten, ini adalah sebuah strategi agar separatis terhindar” papar dosen yang sedang menyelesaikan S-2 nya di UGM ini.

 Dalam Desentralisasi ini akan ada Intergovermental Task Sharing (pembagian tugas pengurusan), agar pemerintah dan daerah bisa saling bersinergi. Hal yang Penting dalam hal ini adalah pemahaman desentralisasi dimaknai eksternal, jika salah persepsi justru daerah akan menuntut bentuk negara federasi karena adanya power daerah. ”Daerah perlu recoknises (pengakuan) dari pemerintah dan sejauh ini terjadi kejahatan nasional pada daerah, sehingga perbaikan citra pemerintah harus segera diupayakan untuk menarik kembali kepercayaan daerah” tuturnya.  ”Walaupun desentralisasi hanyalah sebagai obat yang mana sifat obat kalau cocok bisa meneyembuhkan suatu penyakit, tapi jika salah justru akan menimbulkan kematian, begitulah Desentralisasi yang masih memiliki harapan keberhasilan 50%, tapi kita harus optimis” tambahnya. (P_mg. Min)

 

Tidak ada komentar: