Sabtu, 11 April 2009

Peluang di Lembaga Pendidikan Nonformal

Sebelum Ke Dunia Kerja
Sulitnya mencari kerja menjadi hantu setiap lulusan perguruan tinggi (PT) baik swasta maupun negeri. Pasalnya, banyak pengangguran terlahir dari lembaga prestisius di negeri ini tersebut. Apakah lembaga pendidikan nonformal dapat menjadi solusi yang baik dalam mengatasi masalah pengangguran sarjana? Berikut penelusuran tim Laput Bestari di lapangan.
Lulus dari Perguruan Tinggi (PT) bukan berarti lulus juga dari kesibukan. Dunia baru sudah menanti, dunia yang justru akan menguras banyak tenaga dan membutuhkan perjuangan keras. Banyak para calon sarjana ketakutan saat akan diwisuda dengan alasan belum siap masuk ke dunia kerja. Karena sudah jamak terbentuk dalam wawasan pola pikir masyarakat, bahwa sarjana harus mencari kerja, jika tidak bekerja maka keberadaannya akan menjadi buah bibir. Pasalnya, sarjana hanya menambah jumlah pengangguran saja.
Pilihan mencari kerja bagi sarjana-sarjana baru dalam tradisi sudah menjadi harga mati, sehingga potensi-potensi lain yang seharusnya bisa dikembangkan menjadi terkubur, demikian ungkapan salah seorang staf ahli bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kota Malang, Budiono. Menurut Budi, target utama bagi mereka yang ingin memiliki masa depan cerah setelah mendapat gelar sarjana adalah mencari pekerjaan atau menciptakan lapangan pekerjaan baru dan mulai hidup mandiri. Maka untuk meraih semua itu dibutuhkan inisiatif, kegigihan dan kerja keras.
Kerja keras, lanjut laki-laki asli Malang tersebut, bukan berarti tiap hari melakukan ekspansi dari perusahaan satu ke perusahaan lain untuk melamar pekerjaan. “Sudah saatnya seorang sarjana mampu memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya untuk memberdayakan orang lain, bisa dengan membuka lapangan pekerjaan kecil-kecilan bagi masyarakat atau kalau tidak begitu mampu menggunakan potensinya untuk kebutuhan hidupnya sendiri,” tukasnya.
Bergelut di bidang pendidikan nonformal, lanjut Budiono, adalah salah satu contoh usaha pemanfaatan potensi sarjana. Pendidikan nonformal menurutnya diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan seumur hidup. Menurut Budi, sangat banyak para orang tua yang tinggal di Malang membutuhkan jasa para guru prifat untuk mendidik anak-anak mereka. “Proses pendidikan nonformal bisa saja dilakukan perorangan melalui prifat atau les ataupun membentuk lembaga independen yang cukup besar,” terang Budi.
Lebih lanjut menurut Budiono, yang bisa menjadi penyelenggara pendidikan nonformal adalah antara lain kelompok bermain, tempat penitipan anak, lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim. Adapun bentuk pendidikan yang diberikan dalam pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Dinas Pendidikan Kota Malang, terang penilik pegawai negeri sipil tersebut, menyadari arti penting dari keberadaan sebuah lembaga pendidikan, baik itu formal maupun non-formal. Keberadaan lembaga pendidikan non-formal dianggap dapat menjadi pelengkap dari pendidikan formal. Oleh karena itu, lembaga pendidikan atau sarana belajar selain sekolah, seperti program kursus berbagai bidang keahlian kini tidak jarang ditemukan lagi. “Dari sinilah terciptanya peluang bagi para sarjana untuk mengaplikasikan dan mengajarkan kembali ilmu yang telah diperoleh. Karena disadari atau tidak setelah lulus kuliah tidak sedikit dari mereka yang kembali ke kampung halaman dan hanya menjadi pengangguran. Agar tidak demikian seyogyanyalah para sarjana ini memanfaatkan peluang usaha yang ada, salah satunya dengan membuka les prifat,” harapnya serius.
Senada diungkapkan Evi, staf marketing pendidikan mengemudi Kota Batu. Menurutnya, pada awal berdirinya lembaga pendidikan mengemudi ttersebut, sempat mengalami pasang surut pendapatan. Baginya hal tersebut merupakan bentuk dari kedinamisan hidup, yang terpenting adalah terus berinovasi untuk mengembangkan usaha, mampu menangkap peluang dan pantang menyerah. “Membantu orang untuk bisa menyetir dengan baik merupakan tugas lembaga ini, memang fungsi instruktur dalam lembaga pendidikan non formal semacam pendidikan mengemudi adalah sebagai guru yang sekaligus memiliki profit oriented. Peluang usaha semacam ini saya kira bisa menjadi inspirasi bagi para sarjana-sarjana gres yang siap memasuki dunia kerja. Jadi mereka tidak perlu susah-susah melamar pekerjaan, malah mampu menyerap tenaga kerja syukur-syukur dalam jumlah yang besar,” paparnya.
General manajer pendidikan kesenian budaya Malangan, Sarkali, mengatakan, bergelut di dunia pendidikan nonformal merupakan hal menarik dan memberikan kepuasan batin. Karena menurutnya selain bisa menjadi lahan mencari nafkah juga bisa sekaligus menyalurkan hobi. “Sudah sejak lama saya mengajarkan tari-tari Malangan sama siswa-siswi yang orang tuanya masih perduli dengan budaya lokal. Ya, melalui tari saya berusaha mengajarkan mereka tanggung jawab akan pentingnya pelestarian budaya Malangan,” tuturnya penuh harap.
Ditanya berapa penghasilan yang diperoleh perbulannya, Sarkali yang hanya lulusan SMA tersebut menyebutkan cukup untuk kebutuhan keluarganya sehari-hari. “Saya senang mengajar anak-anak tari, Diamini Evi, pengahsilan yang didapat dari dunia pendidikan nonformal menurutnya sudah cukup mensejahterakan diri dan keluarga. “Kami tidak pernah menyangka bahwa instansi kami mampu berkembang sedemikian pesatnya. Dengan pengalaman yang kami peroleh ini, kami yakin bahwa dengan mengembangkan usaha ini, kebutuhan hidup kami tercukupi,” terang wanita lulusan diploma ADM tersebut.

Tidak Hanya Berorientasi Materi
Dalam situs direktorat pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal, sumber Subdit Penghargaan dan Perlindungan (subdit harlindung) kota Jakarta menyebutkan, pada bulan Agustus tahun 2008 telah disalurkan dana insentif bagi Pendidik PAUD dalam 3 tahap. Dinyatakan, insentif yang telah diproses pencairan dananya oleh KPPN Wilayah III Jakarta sebanyak 27.533 Pendidik PAUD pada Tahap satu sebesar 11.193 orang pertengahan bulan April 2008 dan tahap dua sebesar 16.340 orang pada pertengahan bulan Mei 2008, masing-masing enam ratus ribu rupiah. Menanggapi berita serupa, staf ahli bidang pendidikan luar sekolah Kota Malang tidak mengelak jika dalam pendidikan nonformal terdapat bantuan dari pemerintah, namun menurutnya dalam pelaksanaannya di lapangan belum ada pemerataan bantuan.
Tidak dipungkiri, setiap aktifitas yang berguna untuk hajat orang bayak apalagi jasa tersebut demi generasi penerus bangsa, haruslah didukung oleh segenap pihak. Keberadaan orang yang bergelut di dunia pendidikan non formal haruslah diperhatikan kesejahteraannya layaknya guru yang akhir-akhir ini mendapatkan banyak tunjangan dari pemerintah. Sholeh Subagja, salah seorang pengajar privat agama di Kota Malang menyebutkan, masyarakat banyak memandang salah terhadap keberadaan guru privat agama. Menurutnya pemberian privat apapun merupakan jasa yang harus dihargai, baik privat pelajaran eksak, social, mengemudi, musik ataupun agama yang masing-masing memilliki tanggung jawab yang sama, mencerdaskan anak. “Terkadang persepsi masyarakat, guru agama tidak perlu dibayar. Masyarakat masih kurang menjunjung profesionalisme. Oleh karena itu jangan banyak berharap dari segi materi, kalau ada ya diterima kalau tidak ada ya tidak apa-apa. Tapi ini berbeda dengan privat yang lain seperti music, matematika dan bahasa inggris yang seberanya sama-sama berupa jasa”, paparnya.
Lebih lanjut pria yang akrab disapa Sholeh tersebut menjelaskan, lembaga nonformal punya peluang besar untuk dikembangkan. Terutama yang menjadi sasarannya adalah anak-anak SD-SMA sebagai prasyarat kelulusan. Biasanya lembaga lebih dipercaya karena lembaga lebih mandiri dan mereka harus membuktikan kualitasnya. Pria yang pernah menjadi wisudawan terbaik UMM ini mengatakan, dalam mengajar privat ikhlas menjadi kunci utama. Selain mendapatkan ketenangan jiwa karena ilmu yang bermanfaat, juga penghargaan masyarakat yang diberikan akan sangat berguna bagi kelangsungan hidup bermasyarakat disamping ada juga penghargaan materi meskipun jumlahnya tidak besar, tapi menurut sholeh cukup untuk makan.
Terjun di dunia pendidikan nonformal menurut sebagian mahasiswa bisa menjadi tempat mengisi waktu sebelum akhirnya mendapatkan pekerjaan yang tetap. Adi Mustafa, salah seorang mahasiswa semester tujuh mengatakan, menjadi guru privat selain bisa menjadi mata pencaharian juga menjadi pelarian dalam tanda kutib dari problem pengangguran. ”Sudah kurang lebih satu tahun saya menjadi guru privat, penghasilan ini selain dapat menolong untuk uang makan, juga bisa menjadi media pengisian waktu luang. Barangkali setelah lulus kita akan bingung bakalan kerja dimana, maka menjadi guru privat bisa menjadi semacam ruang tunggu sebelum akhirnya mendapatkan pekerjaan yang layak,” papar Adi.
Diamini juga oleh Romadhan, mahasiswa yang sudah menjadi guru privat sejak lulus Aliyah (setara dengan SMA) tersebut mengaku sangat senang mengajar privat. Pria asal Lombok itu berpendapat, meskipun tidak memiliki pekerjaan yang menghasilkan materi yang besar, privat menjadi salah satu solusi cerdas untuk mahasiswa yang ingin beraktualisasi diri. ”Lebih-lebih mereka yang sudah lulus menjadi sarjana, mengangur sambil menunggu panggilan adalah tindakan yang kurang tepat, menurut saya sambil nunggu panggilan kerja sambil memberi privat anak-anak menjadi solusi tepat. Privat apapun tidak masalah, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing,” terangnya semangat. mg_min, pmg_mus/ fbr/ nin

Tidak ada komentar: