Sirkumsisi Hak Dokter dan Pasien
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yang menjadi payung hukum bagi profesi kedokteran, masih menyisahkan berbagai permasalahan. Pasalnya, UU tersebut dinilai belum sepenuhnya melindungi hak dokter dan pasien. Sementara filosofi perumusannya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu layanan medis serta memberikan kepastian hukum bagi dokter dan pasien.
Sejak disahkan 6 Oktober 2005, UU kedokteran menjadi momok para dokter. Terdapat beberapa pasal yang siap menggiring dokter ke balik jeruji besi (seperti pelaku kriminal lainnya), apabila melangar regulasi tersebut. Sementara, dokter merupakan sebuah profesi yang memiliki kompetensi tersendiri. Menjadi sangat aneh, ketika sebuah pelanggaran profesi dijerat dengan UU Pidana. “Masa profesi dokter disamakan dengan tindakan kriminal,” papar Esty Martiana Rachmie, kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
Posisikan Dokter Seperti ’Penjahat’
Ada tiga pasal secara jelas memposisikan kesalahan dokter seperti pelaku kriminal lainnya, yakni pasal 75 ayat 1 dan pasal 76 tentang pidana maksimal tiga tahun atau denda maksimal 100 juta rupiah, bagi dokter yang melakukan paktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi. Serta pasal 79 a memberlakukan hukum pidana maksimal satu tahun atau denda maksimal 50 juta rupiah bagi pelanggar administrasi lainnya.
Menurut Esty, pasal-pasal tersebut memberatkan para dokter. ”Pelayanan kesehatan bagi masyarakat adalah hak asasi manusia, menjadi tidak logis bila pemenuhan hak asasi manusia ini, disertai dengan persyaratan administrasi berlebihan yang membatasi ruang gerak dokter dengan ancaman pidana,” ujar Esty dengan nada protes.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Malang, Djanggan Sargowo, menyatakan, penerapan hukum pidana bagi pelanggar profesi kedokteran sangat berlebihan. Dokter merupakan profesi yang mulia, yang memeberikan pertolongan kesehatan bagi masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan. “Dengan adanya hukuman pidana bagi dokter, menjadikan profesi dokter seperti penjahat,” papar Djanggan.
Tapi, lanjut Djanggan, pasal tersebut tepat diterapkan untuk pelanggaran Mal praktek. Karena ada tiga hal yang menyangkut Mal praktek. Pertama, tidak mempunyai standar kompetensi. Kedua, melalaikan standar kompetensi dan ketiga keluar dari aturan kedokteran.
Menurut Djanggan, semua kelalaian akibat standar kompetensi dokter harus diselesaikan melalui IDI. ”Ada empat hal yang harus dimiliki dokter, yaitu pandai, cerdik, bijaksana dan smart. Profesi dokter berbeda dengan profesi lainnya, karena menyangkut nyawa orang lain, jadi diperlukan aturan khusus” tegasnya.
Sudutkan Profesi Dokter
Permasalahan lain yang mengganjal aplikasi UU yang lingkupi 12 Bab dan 88 pasal itu, adanya keharusan seorang dokter untuk menempuh pendidikan lebih tinggi dan pembatasan tempat praktik. Seperti yang termaktum dalam pasal 37 ayat 2 tentang Surat Ijin Praktik (SIP) yang membatasi tempat praktik dokter hanya maksimal tiga tempat.
Menurut Esty, UU tersebut terlalu mengatur profesi dokter. Seperti, pasal 51 e tentang kewajiban dokter untuk menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan kedokteran. Apabila tidak, akan dikenakan hukum pidana. “Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 yang menyebutkan bahwa memperoleh manfaat dari ilmu adalah hak, bukan kewajiban,” terang Esty.
Dokter yang juga ketua Aisyiyah Jawa Timur itu memaparkan, dokter yang berpraktik pada lebih dari tiga tempat, biasanya sebagian tempatnya praktik untuk kegiatan amal dengan memberikan pelayanan kesehatan murah. “Apabila dibatasi hanya tiga tempat, dokter lebih memilih praktik yang menghasilkan income lebih dan melepas layanan kesehatan murah. Ini dikhawatirkan, masyarakat ekonomi menengah kebawah kesulitan mendapat layanan kesehatan,” jelasnya.
Tidak Relevan Untuk Dokter Spesialis
Namun, diakui Esty, UU tersebut ditujukan untuk melindungi hak masyarakat dan memanusiakan dokter. Penambahan ilmu pengetahuan memang penting bagi seorang dokter untuk meningkatkan dan maksimal layanan bermutu bagi masyarakat, sedangkan pembatasan tiga tempat praktik, untuk menjaga agar dokter tidak terforsir tenaganya dan memberi kesempatan bagi dokter-dokter baru.
“Memang kerja seorang dokter akan lebih maksimal. Hanya saja, peraturan ini kurang relevan bagi dokter spesialis yang tergolong langka di Indonesia. Seperti dokter anastesi yang banyak dibutuhkan tapi belum banyak di Indonesia,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, Enny Sekar.
Senada dengan Enny, Dekan Fakultas Kedokteran UMM, Fathoni Sadani menyatakan, untuk dokter spesialis tidak perlu SIP, tapi cukup dengan surat tugas dari Dinas Kesehatan setempat. Sementara, pembatasan tempat praktek, menurut Fathony memang perlu. ”Tapi, soal jumlah diserahkan pada Dinas Kesehatan masing-masing daerah, karena tidak semua daerah di Indonesia sama kebutuhnya dan mereka (Dinas Kesehatan) lebih mengetahui jumlah penduduk dan ratio dokter yang ada,” jelas Fathoni serius.
Judicial Review Setengah Hati
Kompleksnya permasalahan yang dihadapi dunia kedokteran tersebut, mengharuskan para dokter mengambil langkah ’penyelamatan’ agar UU tersebut tidak sirkumsisi (menyunat) hak dokter dan mengebiri kebutuhan masyarakat akan rasa sehat. Upaya kongkrit yang telah dilakukannya adalah dengan melakukan uji materi (Judicial Review) ke Mahkama Konstitusi. Dan hasilnya, pasal yang menjadi momok para dokter dihapus.
Menurut Fathoni, setelah adanya judicial review, dokter menjadi sedikit lega ”Pencabutan pidana penjara membuat para dokter sedikit lega, namun masih terdapat denda yang menurut saya sama saja,” keluh pria kelahiran Rembang itu pada Bestari.
Penetapan denda, lanjutnya, bagi dokter yang melanggar administrasi dan kesalahan lainnya, berdampak sama besar dengan pidana penjara. Dokter tetap pada posisi sulit. ”Kalau dokter tidak mampu membayar denda sesuai yang ditetapkan, toh nanti tetap dipenjara juga, karena tidak semua dokter itu kaya,” tegas dokter lulusan S1 Kedokteran UGM itu dengan ramah.
Jadi, lanjutnya, pasal-pasal yang ada dalam UU tersebut perlu ditinjau kembali, termasuk adanya sangsi denda. ”Palanggaran administrasi seharusnya diberikan sangsi administrasi, bukan sangsi pidana,” harapnya.
Mendukung pernyataan Fathony, Enny menyatakan, penetapan denda bagi pelanggar administrasi dikhawatirkan akan membuat dokter malah enggan untuk melakukan layanan kesehatan, karena dinilai sama memberatkannya.
Dosen Fakultas Kedokteran UMM, Meddy Setiawan mengungkapkan, walaupun hasil judicial review telah menghapus pasal dipidana, namun nominal denda yang begitu besar merupakan bukti, dokter tetap diposisikan seperti sebelum adanya judicial review. “Dampak, dokter akan melakukan komersialisasi profesi, ini sebagai upaya celengan (tabungan) jika suatu saat dikenakan denda karena melanggar administrasi,” tuturnya.
Bagi Meddy, pelanggaran administrasi seyogyanya diberikan sangsi administrasi. “Pelanggaran administrasi sebaiknya bukan didenda seperti dalam UU yang berlaku sekarang, tapi dikenakan sangsi pencabutan SIP itu lebih tepat,” usul koordinator dokter muda UMM itu.
Menurut dokter anggota IDI Malang itu, hasil judicial review yang masih menetapkan pasal membatasi tempat praktik, membuktikan masih banyak permasalahan yang perlu diuji kembali. “Dampak dari diberlakukanya pasal ini, rumah sakit kecil menjadi korban karena dokter akan memilih praktik di rumah sakit besar dan berfasilitas lengkap,” jelasnya.
Aturan pembatasan tempat praktik, lanjut Meddy, merupakan aturan yang kaku, karena, dokter pada saat tertentu akan diminta menangani pasien diluar wilayah praktiknya. Dokter bisa saja menolak dengan alasan takut kena denda. “Karena kerumitan inilah, saya mengusulkan UU ini di revisi,” papar dokter yang selalu berpenampilan modis itu serius.
UU Sudah Improper
Kepala Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) UMM, Sumali, mengatakan UU nomor 29 tahun 2004 ini tidak layak pakai (improper). ”UU ini salah sasaran,” terang dosen Fakultas Hukum UMM itu sembari tertawa.
Menurutnya, seorang dokter yang melanggar aturan secara adaministratif tidak perlu dipidana, cukup ditegur. Apabila teguran tidak mempan, maka dilakukan scorsing, dan apabila itu tidak dihiraukan, maka pencabutan izin praktek menjadi sangsi terakhir. ”Ini sangsi paling berat, dokter tidak bisa berbuat apa-apa ketika sudah dicabut hak praktiknya,” jelas penasehat hukum senior UMM itu serius.
Untuk pembatasan tempat praktek, penasehat hukum IDI Jatim itu memaparkan, itu merupakan politik pemerintahan. Pasalnya, dalam penyusunan UU Kedokteran tidak mengusung empat aspek yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan UU Kedokteran. Yakni, memiliki tujuan yang jelas, aspek kemanfaatan, transparan dalam penyusunanya, dan rasional apa yang menjadi tujuannya. “Saya rasa ada ketimpangan dan praktek politik dalam penyusunan UU ini,” terangnya.
Dari data IDI, lanjut Sumali, perbandingan ideal antara dokter dan pasien adalah satu dokter menangani pasien. Tapi, kenyataan dilapangan, satu dokter menagani empat sampai lima ribu pasien. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan jumlah tenaga ahli kesehatan. ”Jelas sangat tidak mungkin jika diterapkan aturan maksimal tiga tempat praktek dengan alasan pemerataan,” tegasnya
Harus Diamandemen
Menurut pria yang dipercaya IDI Jatim untuk mengadfokasi judicial review UU Praktik Kedokteran ke MK itu (lihat Eksklusif), agar IDI segera mengajukan amandemen kepada pemerintah. Jika tidak segera diselesaikan, permasalah semacam ini akan berlarut-larut dan akan memakan banyak korban baik dikalangan dokter maupun pasien.
Rangkaian permasalahan yang dihadapi dunia kedokteran tidak bisa disepelekan. Harus ada langkah hukum yang tegas, agar fungsi dokter sebagai profesi yang memiliki hak-hak khusus dan masyarakat titak terus menjadi ’pasien’ yang selalu mendonorkan haknya demi mendapatkan layanan kesehatan yang lebih baik. Sehingga tidak terjadi sirkumsisi hak dokter dan mengebiri hak hidup sehat bagi masyarakat. mg_wink/pmg_udd/ddn/hst/min
Tidak ada komentar:
Posting Komentar