Jumat, 10 April 2009

Menyorot perubahan iklim politik Turki

LAMPU HIJAU MUSLIMAH PEROLEH KEBEBASAN ASASI

Masyarakat Indonesia mengenal Turki sebagai suatu negara berpenduduk mayoritas Muslim. Kita juga mengenal Turki sebagai bangsa yang pernah memimpin dunia Islam selama tujuh ratus tahun. Fenomena kehidupan masyarakat Turki menjadi menarik ketika negara Turki yang berdiri tahun 1923 terjadi revolusi besar-besaran di bawah pimpinan Mustafa Kemal ataturk menjadi negara sekuler, di mana Islam yang telah berfungsi sebagai agama dan sistem hidup bermasyarakat dan bernegara selama lebih dari tujuh abad, dijauhkan peranannya dan digantikan oleh sistem dari Barat.
Ulasan di atas adalah sejarah, berpijak pada realita kedinian, Turki nampaknya mulai bangkit kembali menjadi sebuah negara yang benar-benar menghargai hak asasi manusia berkaitan dengan keyakinan setelah bertahun-tahun terpenjaran oleh paham sekuler. Harian Kompas minggu (10/2), menulis, Anggota parlemen Turki berdasar Voting perubahan konstitusi ihwal jilbab, mencabut larangan jilbab untuk digunakan muslimah di kampus-kampus dan instansi pemerintah. Sebagai sesama umat islam tentu kita harus senang melihat hal ini, seperti dalam kepercayaan kita jilbab merupakan pakaian wajib yang harus dikenakan muslimah, dan sebagai umat manusia yang cinta kebebasan selayaknya suka cita, sebagaimana difahami tidak ada pemaksaan dalam kepercayaan.
Kata sekuler merupakan bahasa profokatif dan memiliki kandungan makna kontrofersial terutama di negara-negara yang mayoritas islam seperti Turki dan Indonesia. Dalam perkuliahan sosiologis dikaji, sekuler dalam hubungannya dengan politik dan filosofi, dia menunjuk kepada pemerintah yang melaksanakan hukum sipil (bertentangan dengan ajaran agama seperti syariah Islam, hukum kanon Katholik dan hukum rabbinakal), bebas dari agama apa pun, dan tidak mendukung ke ajaran agama tertentu.
Pemaknaan diatas berdasar konsep sekuler ekstrim, sedangkan peristilahan sekuler moderat adalah memisahkan urusan kenegaraan atau politik dari ritual keagamaan bukan dari agama. Islam sebagaimana difahami memiliki peran terhadap kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin dipisah dari agamanya, hanya, hal yang bersifat ritual seperti shalat, puasa dan lain-lain (yang bersifat sakral) tidak dicampur adukkan dengan urusan keduniaan atau lebih spesifik, politik kenegaraan.
Sementara politik sekuler yang berlaku di Turki, berupa sekuler ekstrim yang justru mematikan demokrasi dan mengekang kemerdekaan asasi, akibatnya upaya memisahkan urusan agama dengan dunia (sekuler) yang dimaksud justru tidak memanusiakan manusia, malah menyimpang jauh dari kodrati kemanusiaan.
Kasus ke-Indonesiaan, sempat mencuat isu negara sekuler pada awal tahun dua ribuan yang diusung oleh Nur cholis madjid atau Cak Nur. Sebelum menawarkan konsep ini, lebih dulu Cak Nur memberikan definisi sekuler yang jelas sebagaimana saya sebutkan diawal tadi, namun, barangkali karena khawatir kasus Turki yang menerapkan sekuler ekstrim terjadi di Indonesia, konsep tersebut ditolak mentah-mentah.

Polaritas Sekuler Ekstrim dan Moderat
Seperti merujuk konsep yang ditawarkan Cak Nur, di Turki sendiri sekuler ekstrim yang sudah berlaku kurang lebih 84 Tahun lamanya mengalami revolusi menjadi lebih moderat. Setidaknya, hal itu dimulai dari pencabutan larangan berjilbab di kampus dan instansi pemerintah. Barangkali ini merupakan perubahan bentuk sekuler ekstrim ke moderat sebagaimana yang pernah digagas Cak Nur.
Pada sejarahnya, penggunaan jilbab dilarang karena dianggap bisa merusak kebebasan dan hak asasi masyarakat Turki yang non muslimah, demi menerapkan konsep negara sekuler tersebut, penggunaan jilbab dilarang di kampus-kampus dan instansi pemerintah, dampak yang terjadi banyak muslimah yang taat beragama tidak mau melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan tidak ada pula yang masuk ke instansi pemerintah.
Sebagaimana isu yang dikembangkan partai oposisi Turki, pencabutan larangan jilbab merupakan simbol politik untuk mulai menghidupkan kembali daulah islamiyah sebagaimana selama berabad-abad berkuasa disana, hal ini ditanggapi sebagian besar umat islam Turki hanya merupakan paranoia atau ketakutan yang berlebihan. Pasalnya, pencabutan larangan berjilbab akan merusak demokrasi sebagaimana ungkapan seorang rektor pereguruan tinggi di Ankara, Turki, yang merupakan kubu sekuler. Coba kita teliti, dilihat dari banyak sudut, pelarangan berjilbab merupakan pelanggarang demokrasi itu sendiri. Dari sudut kebebasan beragama, larangan berjilbab merupakan bentuk pelanggaran terhadap keyakinan, begitu juga dari sudut hak asasi manusia sudah tentu larangan tersebut melanggar hak privasinya karena berjilbab adalah hak privasi dan tidak mengganggu atau menyakiti orang lain.

Butuh Dukungan Moral
Perjuangan selum selesai, itulah mungkin ungkapan yang banyak dikeluarkan muslimah Turki khususnya dan islam seluruh dunia pada umumnya melihat banyaknya penolakan dan perjuangan partai oposisi menggugat amandemen tersebut. Bukan tidak mungkin keputusan parlemen bisa berubah lagi karena sabotase dan ulah lawan politik, bisa saja muslimah Turki gagal memperoleh haknya mendapatkan kebebasan berjilbab. Oleh karenanya, bangsa Indonesia sebagai bangsa besar bahkan mayoritas beragama islam selayaknya ikut mendukung perjuangan parlemen yang mendukung pencabutan larangan berjilbab, meski tidak melalui jalur politik, saya kira dukungan moral sudah cukup membantu.
Sudah bukan jamanya lagi, negara yang berkuasa penuh terhadap rakyatnya bertindak dan bersikap egois. Menurut saya dukungan moral sedikit banyak berpengaruh terhadap kebijakan pengambilan keputusan, apalagi kalau pemerintah kita berhasil mendekati secara politik dengan menggandeng lembaga-lembaga keagamaan dunia tentu hak asasi muslimah di Turki akan terpenuhi.



Identitas Diri:
Nama : Khusnul Amin
Profesi : Mahasiswa Unmuh Malang, jurusan Tarbiyah Fakultas Agama Islam, sekaligus Wartawan Kampus, Bestari UMM
Usia : 23 Tahun
Alamat email : aemin_85@yahoo.com
No HP : 085648214720
Alamat : Jl. Bendungan Sutami 188 A Malang
No Rekening : 79105060
Untuk dimuat : Kolom Opini

Tidak ada komentar: