Jumat, 10 April 2009

Menyorot Geliat Pemuda Intelektual Hari ini

MAHASISWA, GENERASI DEMONSTRATIF

Darah muda identik dengan semangat yang menggebu, emosi cepat tersulut dan tidak kenal kompromi sebagai tipikalnya. Tapi dibalik itu mereka juga punya idealisme yang murni. Fenomena pemuda turun kejalan dalam menjalankan aspirasi dan idealismenya sering kali berujung pada sebuah aksi anarkis bahkan terkesan brutal.
Mahasiswa merupakan pemuda intelektual sekaligus sebagai agen perubahan (agent of change), sudah selayaknya responsive terhadap segala perubahan yang terjadi pada bangsa ini, terutama yang berdampak pada kesengsaraan rakyat. Bermacam bentuk aksi bukti kepekaan mahasiswa dijalankan, mengadakan aksi demontrasi sebagai satu contohnya. Semangat ini tentu perlu dipandang positif oleh berbagai fihak, terutama masyarakat menengah ke bawah yang telah diperjuangkan aspirasinya. kesan mahasiswa suka merusak saat demonstrasi sudah melekat.
Demonstrasi yang baik memang harus menemui pihak terkait dalam suatu masalah. Tetapi jika tujuan tersebut tidak terpenuhi, ditambah lagi dengan aparat yang tidak kooperatif, tidak menutup kemungkinan aksi anarkis dapat terjadi. Inilah sesungguhnya penyebab kejengkelan demonstran, yang kemudian melakukan tindakan brutal.
Mahasiswa Yang Demonstran
Kebanyakan demonstran adalah mahasiswa golongan menengah, mereka kos di pemukiman warga, sehingga mereka merasa dekat dengan masyarakat, terutama golongan menengah kebawah dengan segala permasalahannya. Kedua hal tersebutlah yang mendorong mereka melakukan tindakan heroic untuk membantu penyelesaian masalah.
Disamping itu, ada juga tipe orang yang pada dasarnya kepribadiannya memang bermasalah. Banyak persoalan yang membuat mahasiswa stres, sehingga mereka melakukan displacement ke dalam aksi demonstrasi tersebut dan memicu adanya tindakan anarkis pada aksi demonstrasi. Apapun latar belakang tindakan anarkis demonstran, tetaplah tidak dapat dibenarkan, kalau rezim orde lama demonstran yang dulu melakukan tindakan anarkis karena kondisi yang memaksa, misalnya aparat dulu yang melakukan serangan terhadap para demonstran, tetapi, sekarang malah sebaliknya, mahasiswa dulu yang memulai serangan terhadap aparat.
Seharusnya budaya demonstrasi sudah harus mulai ditinggalkan, karena masih ada banyak jalan yang lebih baik untuk bisa menyelesaikan masalah. Seharusnya mahasiswa sadar akan posisi mereka yang akan menjadi pemimpin bagi bangsa ini. Dengan giat belajar dan berprestasi, giat belajar dalam artian menjadi generasi penerus yang cerdas dan tidak suka mengekor, serta berprestasi yang bermakna mampu menemukan ide-ide cerdas untuk kemajuan bangsa, misalkan dengan karya yang bermanfaat bagi masyarakat kecil. Jadi disini, tidak hanya IPK yang bagus, tetapi praktek pada bidangnya masing-masing juga harus maksimal.
Demonstarasi adalah jalan terakhir, Ada jalan yang lebih baik daripada demonstrasi. Kritikan pada pemerintah lewat tulisan, atau seminar-seminar dan sejenisnya yang lebih ilmiah dan bisa dipertanggung jawabkan serta tidak merugikan fihak manapun. Atau yang lebih real lagi, Mahasiswa seharusnya berada di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya dengan melakukan pemberdayaan di lingkungan masyarakat. Contohnya dengan diadakannya KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang berorientasi pada kemajuan dan peningkatan mutu hidup warga masyarakat.
Bagi mahasiswa yang sudah tertanam jiwa demonstran dalam benaknya, sudah barang tentu pada tiap penyampaian aspirasinya melalui cara tersebut. Seakan sudah menjadi tradisi yang tidak bisa hilang, mereka yang terbiasa berteriak-teriak dengan semangat juang yang tinggi menuntut sesuatu yang terkadang tidak semua demonstran faham tujuan demo. Memang, problem mengekor dalam kehidupan mahasiswa sekalipun masih tetap ada, banyaknya profokator berkeliaran menyulut api kemarahan demonstran yang pada akhirnya banyak dari mereka Cuma ikut-ikutan saja.
Aspirasi Ompong
Sebelum demo, demonstran memang meminta izin kepada pihak yang berwenang. Dengan tujuan yang jelas, aparat kontan saja mengijinkan demonstran, lagi-lagi berujung pada kekerasan walaupun awalnya hanya ingin menyuarakan aspirasi dan bertemu dengan pihak terkait. Munculnya sensitifitas aparat terhadap elemen tertentu adalah salah satu akibat timbulnya emosi para demonstran, atau kalau tidak terdapat suara-suara yang menyulut emosi (profokator).
Apa jadinya bangsa ini, generasi penerusnya hanya bisa berteriak dan bertindak anarkis?, sepatutnya pihak terkait membuat rambu-rambu yang mengatur cara penyampaian aspirasi rakyat dan mahasiswa, jika ini tidak segera dilakukan, maka jangan salahkan demonstran akan sering muncul dan melakukan pengrusakan-pengrusakan yang merugikan berbagai fihak. Disamping itu, sepatutnya pemerintah dalam membuat kebijakan haris didialogkan dengan mahasiswa dan rakyat, mahasiswa punya idealisme yang tinggi, jika mereka dihargai dan diorangkan tentu akan melakukan tindakan yang lebih dewasa lagi.
Jangan tanya kemana arah bangsa ini lima tahun sampai sepuluh tahun kedepan. Perlu jadi catatan, perubahan apapun tidak akan terjadi, jika para orang tua (pemerintah) dalam memperlakukan mahasiswa tetap sama. Jangan pandang sebelah mata, proklamasi bisa terjadi waktu itu adalah atas upaya golongan muda, meskipun tidak menafikkan peran orang tua. Jika saat itu Soekarno (dari golongan tua) tidak diculik oleh golongan tua untuk segera melakukan proklamasi, mungkin Indonesia kehilangan moment yang sangat menentukan bangsa ini, yakni kesempatan merdeka.
Pemuda adalah calon pemimpin bangsa dimana mereka nanti akan menggantikan senior- seniornya. Atau bisa disebut tulang punggung bangsa. Sehingga pemuda harus menjadi “man inovatory” jadi harus kreatif, inovatif, dan tidak terjebak dalam politik praktis. Seandainyapun terlibat tentu jangan sampai menjual idealismenya, kebanyakan ketika mereka sudah terlibat seakan idelismenya sudah terkikis oleh pesona indahnya jabatan dan uang. Alangkah hebatnya bangsa ini, saat idealisme mahasiswa tetap terjaga waktu terlibat dalam ranah politik. Bangsa ini akan melahirkan banyak Soekarno baru yang disegani Bangsa lain.
Kenyataan sekarang, gerakan pemuda masih adem ayem dan kurang greget. Pemuda (mahasiswa) belum kreatif, mereka belum bisa membangun kritik- kritik yang membangun bangsa. Kritikan semacam ini seharusnya menjadi Pekerjaan Rumah (PR) tersendiri bagi golongan yang mendapat julukan Agen of Change tersebut. Banyak kalangan yang meragukan kualitas mahasiswa, birokrasi bangsa ini tidak terlalu perduli dengan teriakan-teriakan mahasiswa. mahasiswa hanya dianggap paduan suara yang tidak memiliki pengaruh apa-apa. Walau pada masa reformasi awal (1998), mahasiswa sempat menjadikanya dirinya diraja di bumi Indonesia. Nampaknya kebanggaan itu sekarang sudah hilang. Mahasiswa bagai macan, birokrasi di negeri ini takut dengan mahasiswa pun kini hanya tinggal kenangan. Bagai macan ompong, mungkin sekarang birokrasi menganggap mahasiswa begitu, teriakan-terikanya pun tidak ada gaungnya lagi.
Pasca 1998 pergerakan pemuda kurang memberikan kontribusi positif. Maka pemuda seharusnya memberikan sebuah terobosan- terobosan baru dalam menghadapi persoalan bangsa yang boleh dikatakan sedang akut. Banyak jalan menuju Roma, maka jika cara tertentu tidak memiliki respon yang berarti, maka dituntut cerdas untuk mencarai trik lain yang lebih punya nilai fungsi, itulah yang seharusnya dilakukan mahasiswa saat menghadapi dilema semacam ini.
Hargai Profesi Diri
Harus ada formulasi baru dalam menjalankan gerakan- gerakan pemuda adalah sebuah keharusan, sudah saatnya mahasiswa menghargai profesinya sebagai orang yang berintelek tinggi dan berwawasan luas. Menyandang status agen of change bukan hanya isapan jempol, tentu itu harapan semua fihak. Hanya orang tua bodoh yang tidak memberikan porsi untuk pengembangan potensi diri pada anaknya, dan hanya pemerintah kurang sehat yang menyia-nyiakan kemampuan generasi penerusnya yang dalam hal ini mahasiswa untuk beraspirasi.
Pemerintah harus sering mengadakan konsolidasi dengan masyarakat, terutama masyarakat akademis. Semakin sering terjadi dialog pada keduanya, maka hubungan harmonis pada keduanya akan terwujud. Tentu bukan saling menguntungkan pada keduanya sedang rakyat kecil menderita, tapi pemerintah sebagai penggerak jalanya pemerintahan dan mahasiswa sebagai pengontrolnya yang sewaktu-waktu bisa memberi masukan saat ditemukan kesalahan dalam kebijakan.
Memang harus ada kepekaan sosial dalam diri pemuda (mahasiswa) dalam melihat realitas sosial. Kepekaan inilah yang menjadi modal untuk melakukan kontroling terhadap pemerintah. Tapi, jangan sampai pemuda dikotori oleh kepentingan- kepentingan politik, pemuda adalah penguasa tertunda jadi harus berbicara bagaimana bangsa kedepan tidak berbicara saya nanti harus duduk diposisi mana.


Identitas Diri:
Nama : Khusnul Amin
Profesi : Mahasiswa Tarbiyah, Fakultas Agama Islam (FAI) Unmuh Malang,
Usia : 23 Tahun
Alamat email : aemin_85@yahoo.com
No HP : 085648214720
Alamat : Jl. Bendungan Sutami 188 A Malang
No Rekening : 79105060
Rubrik : Opini

Tidak ada komentar: