Jumat, 10 April 2009

Guru, “Malaikat” Penyelamat Siswa atau “Penjahat” Ujian Negara?

Oleh: Khusnul Amin*
Ujian akhir nasional (UAN) tingkat SMP baru saja berlalu, guru merasa sedikit lega walau masih belum bisa dipastikan lulus tidaknya siswa mereka. Sebentar lagi giliran SD yang akan menghadapinya, para guru pun mulai pasang strategi. Pada UAN tingkat SMA lalu, ditemukan kecurangan yang dilakukan oleh “oknum guru”. Ketika ujian, mereka terlibat dalam penyelesaian jawaban siswanya. Yang lebih tragis lagi, kepala sekolah juga turut terbongkar keterlibatnnya secara langsung dalam kecurangan tersebut. Kenapa mereka sampai melakukan kecurangan? Demi siapakah mereka rela dijeruji? Tidak takut dosakah mereka? Dan saya kira akan muncul banyak lagi pertanyaan serupa dalam benak kita.
Apakah kasus serupa tidak terjadi pada sekolah lain? Naif rasanya kalau kita tidak mengakui hal serupa terjadi juga di sekolah lain. Lebih-lebih sekolah pinggiran yang notabene siswanya berasal dari low economi dan ber-SDM rendah. Kita harus membuka mata untuk melihat kenyataan yang ada, banyak guru di negeri ini menjadi panik, tidak hanya karena melihat standar nilai yang dinaikkan, tapi juga ketika mereka melihat rengek tangis ketakutan siswa mereka. Para guru memikirkan bagaimana caranya agar anak didik mereka bisa lulus, alhasil berbagai cara pun dilakukan.
Posisi guru pada kontek ini menjadi sangat dilematis. Pada satu kondisi, mereka dituntut bagaimana caranya agar anak didiknya bisa lulus semua, try out dan penambahan jam pelajaran menjadi menu tambahan ketika ujian mulai dekat. Meskipun para siswa kenyang dengan dua hal tersebut, meskipun siswa sudah mengeluarkan uang banyak, tapi tetap saja saat ujian mereka kesulitan. Nah, disitulah akhirnya peran guru sebagai “malaikat penyelamat” dibutuhkan, tapi jeruji pun menanti mereka jika “ketahuan”.
Sementara itu, orang tua tidak akan ambil pusing dengan apa yang diupayakan anak mereka serta guru mereka, ibarat pepatah, “lempar batu sembunyi tangan” yang penting anaknya lulus, orang tua terima jadi, kalaupun kebongkar, toh, guru yang akan bertanggung jawab. Melihat kenyataan yang demikian pelik, terus kemudian apakah kita akan menyalahkan orang tua juga? Tidak bijak rasanya kalau kita mencari siapa yang salah dalam kenyataan ini.
Sepertinya pendidikan kita sudah terjebak dalam sebuah “lingkaran setan”. Lebih-lebih guru yang bertanggung jawab besar terhadap pendidikan anak didiknya tentu lebih berpotensi untuk disalahkan, dipidanakan, dan dimintai tanggung jawab jika anak didik mereka tidak lulus. Pada kondisi lain, tuntutan untuk menjadi guru profesional yang menjalankan fungsi keprofesiannya dengan jujur dan penuh amanah muncul. Guru harus mengantarkan anak didiknya mencapai kesuksesan dalam ujian dilakukan tanpa kecurangan. Barangkali hal ini bisa dilakukan pada sekolah-sekolah “unggulan”, guru dan kepala sekolah di sekolah ini tidak perlu banyak repot karena memang siswanya secara mental dan materi sudah siap. Menjadi masalah ketika kejujuran guru dituntut untuk dilaksanakan pada sekolah “pinggiran”, siswa dibiarkan mengerjakan soal ujian tanpa campur tangan guru. Yang ada nantinya adalah kebanyakan mereka gagal dalam ujian.
Sebagai mahasiswa calon guru, saya menjadi sangat khawatir dengan nasib hidup saya nanti. Akankah kejadian ini berulang terus? Akankah guru selalu manjadi kambing hitam dalam sistem pendidikan di negeri kita tercinta? Sepertinya kita perlu malaikat penyelamat baru yang benar-benar peduli dengan pendidikan kita, yang tidak sekedar tebar pesona waktu kampanye tapi lupa saat sudah berkuasa. Na’udhubillah!!!



*Identitas Diri:
Nama : Khusnul Amin
Profesi : Mahasiswa FAI, sekaligus wartawan kampus, Bestari Unmuh Malang
Usia : 23 Tahun
Alamat email : aemin_85@yahoo.com
No HP : 085648214720
Alamat : Jl. Bendungan Sutami 188 A Malang (kampus Unmuh 2 Malang)
No Rekening : BNI. Kantor Kas UMM. 79105060

Tidak ada komentar: