Jumat, 10 April 2009

Refleksi hari anak nasional

Hand Phone dan Porno Aksi Anak Sekolah
Masa remaja merupakan masa yang paling menyenangkan. Masa bebas berekspresi dan bereksperimen atau coba-coba. Tidak baik buat perkembangan psikologis mereka kalau perannya banyak dibatasi dan dicampuri orang dewasa. Harus diakui, kini di Indonesia, orang tua semakin demokratis dalam pola mendidik anak mereka, terutama para orang tua yang tinggal di perkotaan. Tidak ada bentakan, tidak ada cacian dan yang ada hanya reward atau hadiah untuk memacu kreatifitas anak mereka.
Di satu sisi, kita patut berbangga dengan iklim pendidikan keluarga semacam ini, pola pendewasaan anak yang dulu kebanyakan menggunakan metode militer yang walaupun terbilang sukses dalam satu segi, kedisiplinan misalkan, tapi tidak sedikit pula anak-anak tersebut pada usia dewasa memiliki masalah pada kejiwaan mereka. Namun pada sisi lain, orang tua harus membayar mahal atas pola pendidikan yang mereka terapkan terhadap anak mereka, sang anak menjadi sangat liar, nakal dan tidak mampu lagi membedakan mana yang seharusnya mereka kerjakan dan mana yang harus dijauhi.
Memang terjadinya kenakalan tersebut tidak bisa kesalahan sepenuhnya dialamatkan kepada remaja dan orang tua yang kurang mengurusi anak mereka, kita perlu membuka mata bagaimana kehidupan masa remaja sekarang, bentuk penyimpangan sangat mudah dilakukan apalagi setelah adanya kemajuan teknologi. Orang tua nampaknya kecolongan dengan ulah mereka, meskipun teknologi tersebut sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia, namun masih menyisakan berbagai persoalan yang mestinya segera dipikirkan untuk segera dicari jalan keluar.
Satu bentuk teknologi, sebut saja HP, Siapa yang tidak kenal HP? Rasanya sulit sekarang kita mencari orang yang tidak tahu apa itu HP, tak terkecuali di lingkungan sekolah. Bahkan bagi sebagian pelajar, HP sudah menjadi kebutuhan pokok, untuk berbagi informasi, curhat dan sebagainya yang memang benda kecil tersebut sudah menjadi simbol eksistensi mereka. Namun, fungsi utama HP sebagai alat komunikasi semakin hari semakin berkembang dengan berbagai layanannya, mulai dari ada radionya, kamerannya sampai ada videonya yang tentu akan berpengaruh pada pemanfaatannya pula.
Kita sering mendengar anak SMA melakukan adegan mesum yang disyuting lewat HP. Yang lebih parah lagi, mereka pada adegan tersebut sepertinya sangat senang dan menikmatinya. Apakah mereka tidak faham dengan penyimpangan yang mereka lakukan? Atau benarkah itu dianggap sebagai hal yang wajar? Miris rasanya kalau kita turut menyimak perkembangan perilaku menyimpang para pelajar. Mereka yang tertangkap ada yang mengaku ingin coba-coba saja, ada pula yang memang ingin melakukannya karena pengaruh film yang sering ditontonnya.
Lalu, kalau sudah begini siapa yang musti bertanggung jawab? Orang tua kah yang telah memberi fasilitas pada anaknya terlalu mewah? Atau guru kah yang kurang berhasil memberi didikan akhlak kepada siswanya sehingga memiliki perilaku menyimpang? Tidak penting nampaknya kita memperdebatkan siapa yang bertanggung jawab atas penyelewengan mereka, tapi lebih dari itu kita perlu mencari solusi bersama.
Pertama kali perlu diketahui, budaya permisif di Indonesia nampaknya sudah menjamur. Hal-hal yang menurut agama dan adat-istiadat lokal tabu menjadi sesuatu yang biasa saja, pola pikir remaja yang termodernisasi dalam arti yang negatif telah merubah gaya hidup serta cara pandang mereka. Hal yang awalnya dilarang, menurut mereka boleh sedikit dilanggar hingga lama-kelamaan menjadi tidak dilarang.
Hal penting kedua adalah tuntutan pergaulan. Remaja yang tidak punya HP berkamera dianggap kurang gaul dan ketinggalan zaman. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka minder jika benda ajaib tersebut hanya bisa buat sms dan telfon saja, oleh karena tuntutan dalam pergaulan mereka tersebut sehingga memiliki HP kamera menurut mereka menjadi sebuah keniscayaan.
Minimal dari dua hal tersebut di ataslah mulai muncul kasus porno aksi yang dilakukan anak-anak sekolah. Sebagai mahasiswa yang nantinya manjadi guru sekolah, saya menjadi sedikit pesimis dengan masa depan pendidikan kita jika melihat kanyataan seperti sekarang. Jika perlakuan orang tua terhadap anaknya masih sama seperti sekarang dan perkembangan teknologi juga akan semakin canggih tentu akan semakin menambah kompleknya persoalan kenakalan anak sekolah.
Saya pikir untuk mengurangi penyimpangan pada anak didik bisa dilakukan dengan menekan atau mengurangi potensi penggunaan teknologi canggih atau mahal. Para orang tua harus berani mengatakan tidak kepada anak-anak mereka jika mereka merengek minta dibelikan HP yang fasilitasnya lengkap. Pemberian kepercayaan kepada anak tidak musti menuruti segala permintaan mereka tapi lebih dari itu orang tua pun harus, ibarat pepatah mengatakan sedia payung sebelum hujan, artinya bahwa dari pada menunggu mereka melakukan penyimpangan dengan HP tersebut, lebih baik dicegah terlebih dahulu potensi yang akan membuat mereka menyimpang. Kalau memang mereka butuh HP, orang tua cukup membelikannya yang murah saja, yang penting bisa untuk sms dan telfon, di samping harganya murah orang tua pun jadi tenang.

Identitas Diri:
Nama : Khusnul Amin
Profesi : Mahasiswa Tarbiyah, FAI Unmuh Malang
Usia : 23 Tahun
Alamat email : aemin_85@yahoo.com
No HP : 085648214720
Alamat : Jl. Bendungan Sutami 188 A Malang
No Rekening : BNI. Kantor Kas UMM. 79105060

Tidak ada komentar: