Jumat, 10 April 2009

Benang Merah atas Pertentangan Fiqih Kontemporer

*By: Khusnul Amin

Dalam hukum Islam terdapat andagium yang sangat terkenal, al-Islamu shahihun li kulli zaman wa makan, yang memiliki makna Islam senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Ini adalah bukti yang sering ditampilkan untuk menjelaskan tentang fleksibilitas hukum Islam. Secara umum tidak didapatkan perbedaan pendapat mengenai hal sifat hukum ini, namun yang sering terjadi perdebatan panjang adalah bagaimana hukum Islam yang bersifat fleksibilitas tersebut harus diwujudkan. Pertentangan tersebut bisa digambarkan dengan sebuah contoh bagimana hubungan antara teks dengan konteks. Pada keduanya manakah yang harus dimenangkan jika terjadi pertentangan.
Penempatan teks sebagai pemenang atas konteks ketika keduanya dibenturkan adalah jalan yang ditempuh dan dianut oleh kelompok muslim radikal atau skriptualis. Karena bagi kelompok muslim ini, keislaman yang benar adalah keislaman seperti yang termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ini bermakna banhwa penuturan-penuturan tekstual Al-Quran dan Al-Sunnah harus dipatuhi. Konteks dengan sendirinya harus menyesuaikan dengan teks. Karena menurut kelompok ini, jika teks harus mengikuti konteks, maka itu bermakna Al-Quran dan Al-Sunnah adalah dasar hukum yang tidak konsisten.
Sementara kelompok konseptualis melihat konteks sebagai determinan (faktor penentu) dalam menentukan hukum. Menurut kelompok kedua ini, Al-Quran dan Al-Sunnah tidak turun di ruang kosong. Keduanya turun di tengah masyarakat atau komunitas yang telah memiliki sistem nilai, sistem budaya dan sistem sosial yang mapan. Sehingga ketika ayat Al-Quran turun atau Al-Hadits dikeluarkan selalu memperhatikan unsur-unsur tersebut. Sehingga menurutnya, adanya Asbabunnuzul (sebab turunnya Al-Quran) dan Asbabulwurud (sebab lahirnya Hadits) menunjukkan tidak pernah terpisahnya sebuah teks dari konteks yang ada di sekitarnya.
Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, fleksibilitas hukum Islam memang sudah dicontohkan oleh tokoh-tokoh mazhab. Sebagai contoh, pada masa Syafi’i terjadi terbitan fatwa-fatwa agama yang berbeda dalam waktu dan tempat yang berbeda pula. Ketika di Irak, Syafi’i pernah memproduksi ketetapan hukum yang disesuaikan dengan konteks masyarakat di sekelilingnya. Namun, ketika Syafi’i pindah ke Mesir, dan dia menemukan persoalan-persoalan yang timbul di kalangan masyarakat Mesir berbeda dengan apa yang di dapati di Irak, maka dia harus melakukan penyesuaian hukum. Dan akhirnya, hukum fiqih yang dihasilkan oleh syafi’i di Irak berbeda dengan apa yang dihasilkan di Mesir. Sehingga fatwa di Irak tidak berlaku lagi di Mesir, dan lebih dikenal sebagai qawl qadim (fatwa-fatwa lama), sementara fatwa barunya ketika di Mesir dinamakan qawl jadid (fatwa-fatwa baru).
Kelenturan hukum Islam berkaitan erat dengan tujuan diturunkannya hukum Islam. Dalam buku yang berjudul Dlawabit al-Maslahah fi al-Syariah al-Islamiyah, Sa’id Ramadhan Al-Buti menulis bahwa tujuan disyari’atkannya hukum Islam adalah untuk kepentingan masyarakat umum. Prinsip inilah yang sering diistilahkan dengan maqashid al-tasyri’ atau maqasid syari’ah. Para Fuqaha’ telah menegaskan bahwa salah satu tujuan yang hendak dicapai melalui maqasid syariah adalah maslahah. Dalam pandangan sebagian ulama’ kontemporer, konsep maslahah ini bisa difungsikan sebagai sarana perubahan hukum. Karena konsep maslahah memberikan seperangkat kerangka teoritik yang bisa dirujuk ketika berhadapan dengan persoalan, yang inheren dalam sistem hukum berdasarkan teks yang pasti, bagaimana membawa landasan material hukum yang terbatas dalam situasi sosial yang senantiasa berubah-ubah.
Hukum Islam dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh tempat dan situasi, selain itu dalam kacamata masyarakat modern terdapat juga pertimbangan adanya perubahan hukum berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sahrour menulis dalam buku yang berjudul metodologi fiqih islam kontemporer, dicontohkan bagaimana hukum waris Islam jika difahami dan didekati dengan bantuan matematika modern akan menampakkan hasil yang berbeda dengan apa yang berlangsung pada abad ke-8 M. Terdapat sebagian umat Islam yang sepakat dengan apa yang dicontohkan Sahrour, namun tidak sedikit yang menolak. Apapun tanggapannya yang pasti memang memperhatikan dan mempertimbangkan perkembangan pengetahuan sebagai salah satu konsideran perubahan hukum menjadi tidak terelakkan.
Ketika Nabi Muhammad masih hidup, segala persoalan yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat bisa langsung ditanyakan kepada Nabi dan sabdanya tersebut menjadi hukum yang harus ditaati. Kedaan ini sangat berbeda dengan kondisi kehidupan sekarang, apapun masalah yang muncul harus merujuk kepada dua dasar hukum Islam yaitu al-Quran dan Al-Hadits dan seandainya ditemukan masalah baru yang tidak terdapat hukum pada keduanya, maka seorang ulama’ harus berijtihad dalam menentukan hukum yang baru pada masalah baru tersebut. Persoalan menentukan hukum baru (ijtihad) ini pernah terjadi pada masa Nabi. Diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, Ketika itu seorang sahabat bernama Mu’adz bin Jabal yang baru saja diangkat menjadi gubernur di Yaman berdialog dengan Nabi. Muazd ditanya, apa yang akan dilakukan jika menemukan masalah-masalah dalam hukum Islam, Muazd menjawab akan mencari dalam Al-Quran. Nabi melanjutkan dengan pertanyaan kedua, jika tidak ditemukan dalam Al-Quran apa yang akan dilakukan, Muazd menjawab akan mencarinya dalam Sunnah Nabi. Dan pertanyaan terakhir Nabi, jika masalah tersebut tidak ditemukan pada kedua sumber hukum tersebut maka apa yang harus dilakukan. Muazd menjawab “saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya sendiri”. Mendengar jawaban Muazd tersebut, Nabi terlihat puas dan bahkan memberikan pujian terhadap jawaban itu.
Jawaban Muazd atas pertanyaan Nabi tersebut menunjukkan bahwa tidak semua persoalan dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Al-quran dan Al-Hadits sudah berhenti, dan tidak akan pernah ada ayat-ayat atau Sunnah baru, sementara masalah-masalah baru terus bermunculan (al-qadhaya al-fiqhiyyah mutajaddidah wa mutazayidah wa al-nushush tsabitah wa mutahaniyah). Sehingga, ketika berhdapan dengan masalah-masalah baru tersebut, Al-Quran dan Al-Hadits sering menunjukkan keterbatasan. Keterbatasan cakupan Al-Quran dan Al-Hadits itu bukan karena keduanya tidak sempurna, karena keterbatasan itu hanya terjadi pada persoalan-persoalan yang terlampau kecil dan terikat ruang dan waktu. Al-quran dan Sunnah bersifat sempurna ketika difahami bahwa keduanya memuat hal-hal yang bersifat syumuli dan ijmali, sehingga membuka ruang bagi penafsiran pada masa-masa yang jauh dari masa Al-Quran diturunkan dan sunnah dikeluarkan.
Pada kedua sumber tersebut juga memiliki derajat kerincian yang berbeda. Jamak diketahui, Al-Quran lebih ijmal dibandingkan Sunnah atau Al-Hadits dan dengan sendirinya Al-Hadits lebih bersifat tafshili dibandingkan dengan Al-Quran. Dan tidak semua perbuatan Nabi dianggap Sunnah yang berdimensi hukum. Para ahli hukum Islam, umumnya membagi perbuatan Nabi ke dalam al-af’al al-tasyri’iyah (perbuatan yang berdimensi hukum) dan al-af’al al-jibiliyah (perbuatan yang tidak bermuatan hukum).
Kehidupan masyarakat Muslim kini sudah berkembang pesat, hantaman budaya barat pun semakin besar. Seakan tidak ada ruang lagi bagi umat islam untuk bernafas, sampai persoalan makan sekalipun umat islam harus waspada dari bahaya keharaman yang diakibatkan kaum kapitalis tersebut. Salah satu contoh persoalan yang sangat dekat dengan kehidupan manusia, dalam bidang muamalah misalkan, banyak muncul kontroversi yang diakibatkan sebagian karena kehati-hatian umat Islam dari pengaruh budaya merusak oleh kaum kapitalis dan sebagian lagi sekedar ingin tetap mempertahankan tradisi Islam yang tradisional dan tidak mau menerima kemodernan. Masalah yang muncul misalnya tentang status hukum melakukan transaksi dengan bank konvensional, bagaimana pula status syar’i menjalankan transaksi ekonomi dengan non-muslim.
Kecenderungan kebanyakan umat islam untuk memilih transaksi ekonomi yang berlebel syariah bukan sesuatu yang mengejutkan. Bahkan bagi sebagian kalangan, itu merupakan keharusan. Motivasi memilih yang berlebel syariah bermacam-macam. Tetapi yang paling mendasar adalah karena ikhtiyath (kehati-hatian) dalam menentukan preferensi transaksi ekonomi. Jika tidak berhati-hati, dalam pandangan sebagian orang, umat Islam bisa terjebak pada hal-hal yang diharamkan agama. Dalam rangka ikhtiyath inilah, maka kehalalan dan keharaman sesuatu menjadi sangat sentral posisinya. Memang benar, bagi umat Islam halal dan haram menjadi hal yang sangat sensitive dan harus mendapat perhatian utama. Hanya saja, jika diskusi tentang berbagai persoalan menempatkan kehalalan dan keharaman ini pada posisi yang tidak tepat, maka hukum Islam justru kelihatan sangat kaku. Inilah yang menimbulkan kehalalan dan keharaman menjadi sesuatu yang mutlak. Padahal, dalam konteks tertentu, hal yang haram bisa menjadi halal dan sebaliknya. Dalam Islam, bisa jadi pada satu perkara bisa memiliki empat atau lima hukum sekaligus. Kenapa demikian? Di sinilah pentingnya menempatkan konteks pada posisi yang benar. Bahwa sebuah perbuatan atau benda haram menjadi halal atau halal menjadi haram sangat bergantung pada konteksnya. Hal ini juga akan berlaku pada masalah-masalah baru yang tidak pernah ditemukan presedennya pada masa Nabi, khalifah, tabi’in, tabiu al-tabi’in. Tidak bisa disangkal, persoalan-persoalan baru yang lahir dalam kehidupan masyarakat Islam membutuhkan hukum-hukum baru.
Mengenai hukum baru, tidak bisa dilepaskan dari upaya ijtihad. Islam pernah berada pada fase fanatisme hukum Islam yang luar biasa. Fanatisme itu terjadi Karena para penganut Imam-Imam Mazhab melakukan kultisme individu yang berlebihan terhadap Imam panutannya masing-masing, sehingga pendapat (ijtihad) mereka ditempatkan sebagai hukum baru yang paling benar dan yang lain salah. Dalam Fiqih Sunnah Jilid 1, Sayyid Sabiq menggambarkan sikap fanatik yang berlebihan dari kalangan penganut Imam Mazhab itu dengan mencontohkan apa yang terjadi pada Al-Kharki. Karena terlalu kagum dengan Imam Mazhab yang dianutnya, al-Kharki menganggap Imam yang lain salah. Sejarah fanatisme hanya terjadi pada penganut Imam Mazhab, para Imam Mazhab sendiri secara tegas menyatakan bahwa tidak ada pendapat yang paling benar diantara mereka. Ungkapan yang paling terkenal oleh Imam Syafi’i yaitu “mazhab kita benar mengandung kesalahan dan mazhab lain salah, tetapi mengandung kebenaran. Ijtihad sebagai sarana pengembangan hukum Islam pernah mengalami masa perkembangan yang luar biasa, disamping juga mengalami masa kemunduran yang jauh lebih mengkhawatirkan lagi. Sebagian pendapat menyatakan bahwa terjadinya kemunduran dan kejumudan pemikiran Fiqih dalam Islam ini didahului dengan fase pembukuan atau kodifikasi (tadwin) hukum Islam. Para fase ini, karya-karya Imam Mazhab tersebut disusun dan dibukukan secara sistematis. Pembukuan tersebut membawa dampak positif dan negative. Pada satu sisi, aktifitas pembukuan itu telah menghasilkan satu khazanah keilmuan Islam yang luar biasa. Tetapi, pada sisi lain, muncul perasaan mencukupkan dalam ijtihad di kalangan masyarakat Islam waktu itu. Mencukupkan ijtihad karena melihat banyaknya karya yang sudah dihasilkan para Imam Mazhab dan dirasa sudah cukup mampu menjawab segala pesoalan zaman, sehingga tidak perlu lagi mereka membuat karya baru. Di samping itu, terdapat juga kegamangan di kalangan masyarakat Islam untuk melakukan ijtihad karena mereka merasa bahwa hanya Imam-Imam Mazhab itulah yang memiliki wewenang untuk melakukan ijtihad.
Perubahan pola pikir masyarakat muslim yang sekaligus dianggap sebagai masa kebangkitan kembali keilmuan islam atau masa terbukanya kembali pintu ijtihad, dimulai sejak interaksi Islam dengan Barat pada Abad sembilan belas. Perubahan-perubahan serta dinamika hukum berlangsung sangat pesat, umat islam disebut berada pada persimpangan jalan antara mempertahankan hukum yang telah terbentuk ataukah menciptakan hukum baru. Satria Effendy menyebutkan ada tiga sikap di kalangan umat waktu itu, yaitu; pertama, aliran yang ingin mempertahankan fiqih dalam bentuk yang telah ada selama ini, tanpa membedakan apakah hukum itu bersifat qoth’i atau hasil ijtihad. Kelompok ini meyakini bahwa salah satu penyebab mundurnya umat Islam adalah karena mereka tidak lagi berpegang kepada syariat Islam, termasuk kepada hukum fiqih yang merupakan hasil ijtihad para ulama’ di masa lalu. Pada saat yang sama, kelompok ini juga meyakini bahwa ijtihad hanya bisa dilakukan oleh ulama’ masa lalu. Umat islam pada masa sekarang tidak berhak melakukan ijtihad karena tidak se-Alim dan sepandai ulama’-ulama’ klasik tersebut. Kedua, bersikap sebaliknya, aliran kedua justru meyakini bahwa berpegang kepada hasil ijtihad yang dilakukan oleh ulama’ pada masa lalu tidaklah memadai untuk memecahkan masalah-masalah baru yang muncul pada masa sekarang, yang ternyata jauh lebih kompleks dari masalah yang terjadi di masa lalu. Berbanding terbalik dengan kelompok pertama, kelompok ini menilai bahwa kemunduran umat Islam justru terjadi karena mereka terlalu terpaku pada hasil-hasil ijtihad ulama’ masa lampau itu sebagai akibat dari cara berfikir yang cenderung salah kaprah dalam memahami agama, yaitu kegagalan membedakan mana yang absolut dan mana yang relatif, mana yang syari’at dan mana yang hasil ijtihad. Ketiga, adalah aliran yang menawarkan corak berfikir yang jauh berbeda dengan kelompok pertama dan kedua. Menurut kelompok ini, kompleksitas persoalan pada masa modern ini tidak bisa dipecahkan oleh norma-norma hukum Islam, bahkan ketika dilakukan pembaharuan terhadap hukum islam sekalipun. Dengan kata lain, kelompok ini berkeyakinan bahwa untuk menyelesaikan berbagai persoalan ini, hukum Islam harus disingkirkan dan diganti dengan hukum-hukum lain. Aliran seperti ini popular di kalangan pendukung gerakan sekulerisasi, baik di Mesir maupun di Turki.
Ketika situasi kemandegan berfikir ini semakin akut, lahirlah pembaharu-pembaharu islam seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Katsir, Muhammad bin Abdul Wahhab, Shah Wali-u Llah Al-Dihlawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menyerukan umat Islam akan pentingnya melakukan ijtihad. Pada masa pemikir-pemikir muslim inilah pintu ijtihad kemudian dibuka kembali. Ijtihad menjadi instrument penting yang menghubungkan antara ajaran-ajaran Islam yang termuat dalam al-quran dan hadits dengan situasi masyarakat yang selalu berkembang. Terlebih di zaman sekarang, di mana masyarakat dunia mengalami revolusi teknologi dan informasi yang begitu dahsyat, pemberlakuan ijtihad sebagai mekanisme penyelarasan hukum islam dengan zaman, menjadi sangat urgen.
Gagasan menghidupkan kembali gairah ijtihad sebagaimana yang telah diusung ulama’-ulama’ pembaharu di atas membuat dunia islam kini semakin kaya corak. Pradana Boy, dalam buku ini amat jelas setuju dengan konsep perlunya ijtihad baru dalam hukum (membuka pintu ijtihad), karena memang kondisi dan zaman yang berbeda. Melalui buku ini, Boy mengangkat persoalan-persoalan kontroversial yang terjadi pada masyarakat muslim sekaligus pemecahannya. Hal ini mengindikasikan keleluasaannya dalam mengambil sikap yang baru atas persoalan yang baru pula. Dikupas misalnya pada Bab II, tentang hukum islam dan hak asasi manusia, dengan lugas dan berani Boy mengangkat masalah tuduhan yang diterima Negara-negara muslim sering melanggar hak asasi manusia. Menurutnya, tuduhan tersebut dengan sendirinya baik secara eksplisit maupun implisit mengarah kepada ajaran Islam. Islam merupakan ajaran yang tidak memperhatikan dan melindungi hak asasi manusia (halaman 31). Pada kenyataannya, tuduhan semacam ini lebih bermotif politik dan didasari oleh strereotipe Negara-Negara Barat terhadap Islam, dari pada didasarkan pada sebuah pengkajian yang mendalam terhadap hakikat ajaran Islam. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di Negara-Negara yang penduduknya muslim sering terjadi pelanggaran hak asasi manusia, tetapi apakah pelanggaran serupa tidak terjadi pada Negara non muslim? Pertanyaan inilah yang diajukan Boy, bahkan menurut Pria yang menyelesaikan pendidikan S-2 nya di Australian National University (ANU) ini persoalan tidak sampai di sini saja, karena akan muncul perdebatan bahwa jika muncul pelanggaran hak asasi manusia, nagara-negara Islam cenderung lamban mengatasinya, dan tidak jarang hilang serta terlupakan begitu saja. Sedangkan Negara-negara non-Muslim memiliki mekanisme yang jelas dan terukur dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia.
Asumsi-asumsi yang dilontarkan Negara non-Muslim jika pun benar, Boy memberikan kritikan tidak seharusnya secara serta merta semua dihubungkan dengan Islam. Secara konseptual-normatif Islam memiliki seperangkat doktrin yang mendukung tegaknya hak asasi manusia. Hanya saja, ketika masuk ke dalam kerangka kebijakan politik tertentu, ajaran normatif Islam seringkali mengalami reduksi besar-besaran. Boy menyayangkan, reduksi terhadap doktrin dasar Islam itu seringkali mengatasnamakan agama Islam. Dicontohkan dalam pembahasan bab ini, Saudi dan Malaysia sebagaimana telah menjadi pemakluman umum bahwa kedua Negara ini memberlakukan syariat Islam sebagai hukum Negara. Tetapi pada saat bersamaan kita menyaksikan pelanggaran terhadap hak-hak ketenaga kerjaan, seperti yang sering dialami oleh tenaga kerja asal Indonesia seperti yang banyak diberitakan di media massa. Sehingga pada akhir pembahasan bab ini dia menguatkan, di samping perlu ada pengakuan terhadap kesesuaian antara konsep hak asai manusia dalam konteks universal dengan ajaran Islam, terdapat pula pandangan yang menilai bahwa mencocok-cocokkan Islam dengan hak asasi manusia adalah satu hal yang tidak mungkin. Alasannya adalah, bahwa Islam adalah agama yang mencakup segala persoalan kehidupan manusia, termasuk hak asasinya, sehingga mengapa harus melihat kepada nilai dan norma di luar Islam untuk berbicara tentang hak asasi manusia.
Dengan bijak, Pria yang masih aktif sebagai staf pengajar di fakultas agama Islam (FAI) UMM ini menganalisis dua pandangan yang berbeda di atas merupakan sebuah keragaman pandangan yang dipengaruhi oleh situasi sosial dimana seseorang berada. Namun pada kalimat selanjutya, dia menunjukkan sikap, menurutnya satu hal yang patut dinyatakan adalah bahwa pada dasarnya, hak asasi manusia adalah sesuatu yang bersifat universal (halaman 65). Yang artinya, ketika berbicara tentang hak-hak dasar manusia, sebenarnya semua agama memiliki tanggung jawab yang sama, meskipun pengungkapannya dalam konsep yang beragam. Sehingga menurunya dengan sendirinya menganggap Islam sebagai agama yang tidak mendukung atau tidak sejalan dengan konsep hak asasi manusia, merupakan sikap yang banyak dimotivasi oleh pandangan yang sempit, baik pandangan itu berasal dari kalangan muslim maupun non-muslim.
Terdapat banyak pembahasan menarik lain yang dikemukakan Pradana Boy dalam buku ini, namun yang mungkin menarik bagi saya adalah pada pembahasan Islam dan partisipasi politik perempuan. Pembahasan pada bab ini dimulai dengan cerita seorang guru besar wanita di bidang kajian Islam pada Universitas Virgiana, Amerika Serikat yang bernama Amina Wadud. Nampak pada bab ini pembaca mencoba digiring oleh penulis untuk membuka wawasan atas kondisi riil yang terjadi di belahan Negara lain, terdapat ilmuan muslim yang mencoba menterjemahkan (berijtihad) dengan ekstrim serta melanggar atas nash yang sudah termaktub jelas dalam Al-Quran. Kemudian dibenturkan dengan contoh kedua, dimana seorang wanita yang dipersoalkan ketika ingin menjadi presiden, bahkan lebih keras lagi menurut sebagian ulama’ wanita hukumnya haram sebagai presiden. Dua contoh di atas tentu tidak jauh berpijaknya, yakni lagi-lagi persoalan agama. Diharamkannya wanita sebagai Imam dalam shalat dengan makmum laki-laki seperti kasus Amina Wadud menurut sebagian ulama’ sebagai kiasan dilarangnya wanita menjadi pemimpin (presiden) atas laki-laki kasus Mega Wati. Penulis buku ini dengan jeli membenturkan hal di atas dengan contoh pemerintahan di Pakistan, sebuah Negara Islam yang sebenarnya memiliki tradisi konservatisme Islam yang lebih kental dari pada Indonesia, justru terjadi pengagung-agungan kemblinya pemimpin perempuan ke dalam kehidupan politik mereka. Benazir Bhuto, mantan perrdana menteri Pakistan setelah mengalami pengasingan politik beberapa lamanya malah kehadirannya disambut hangat oleh rakyat Pakistan. Melihat apa yang dilakukan rakyat Pakistan terhadap calon pemimpin perempuan ini, jauh dari kesan bahwa konservatisme Islam sebenarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Islam di Pakistan. Pradana Boy sengaja secara lengkap dan global menyampaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masalah wanita dan perannya pada ruang publik. Yang kemudian pembaca dibebaskan mengambil sikap untuk menyetujui wanita sebagai pemimpin atau menolak.
Buku yang berjudul Fiqih Jalan Tengah, membongkar solusi Islam atas masalah-masalah masyarakat kontemporer ini memiliki tingkat pemilihan bahasa yang tinggi, sehingga sangat cocok bagi akademisi baik mahasiswa, dosen maupun peminat pengkajian Islam. Dari segi konten, persoalan-persoalan yang dibahas dalam buku ini merupakan topik-topik hangat yang tidak bisa hilang ditelan masa, karena pembahasan semacam yang ada dalam buku ini akan bisa dijadikan rujukan untuk menilik masa depan hukum atau syariat Islam dalam kehidupan yang lebih modern lagi.



*Khusnul Amin, Lahir di Tuban 10 Pebruari 1985. Alumni Madrasah Aliyah Negeri 2 Rengel 2005. Sedang menempuh pendidikan S-1 Fakultas Agama Islam (FAI), Jurusan Tarbiyah UMM sejak 2005 sampai sekarang. Tercatat sebagai salah satu mahasiswa FAI yang mendapat beasiswa Program Pendidikan Kader Ulama” (PPKU) dari UMM. Sebelum kuliah sempat mengemban amanah sebagai ketua OSIS, MPK dan Redaksi Majalah sekolah di Aliyah (2004), menjadi ketua Osis sewaktu di MTs (2001). Selama kuliah aktif diberbagai organisasi seperti, Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) sebagai anggota, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai kepala Bidang Keilmuan (2007), ketua bidang syiar Lembaga Semi Otonom (LSO) FORSIFA (2007), Anggota SENAT Fakultas (2007). Aktif menulis diberbagai media massa baik lokal maupun nasional, seperti Malang Post, Surya, dan Media Indonesia. Kini tercatat sebagai Reporter Magang Koran kampus, Bestari UMM.

Tidak ada komentar: