Selasa, 07 April 2009

Revisi UU Praktek Kedokteran Masih Perlu Ditinjau Kembali

Menjadi dokter merupakan sebuah profesi yang strategis dan menjadi idaman banyak masyarakat Indonesia, profesi ini merupakan panggilan nurani sebagai seorang manusia yang mengabdikan hidupnya untuk menolong orang lain, tapi tugas suci ini nampaknya terganggu dengan munculnya UU Praktek Kedokteran Nomor 29 tahun 2004  yang berisi hukuman penjara dan kurungan bagi Dokter yang melanggar administrasi, UU Praktek kedokteran merupakan salah satu upaya memperbaiki dan menertibkan kinerja Dokter, namun setelah maksud baik tersebut tertuang dalam pasal-pasal ternyata malah sebaliknya, justru adanya pasal tersebut mengakibatkan ancaman dan rasa takut terhadap para dokter dalam melakukan praktek kedokteran dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Selama kurang lebih empat tahun pasal ini berlaku, IDI melalui bantuan hukumnya membulatkan suara untuk mengajukan Judicial review terkait UU kedokteran tersebut. Akhirnya pada tanggal 19 juni 2007 kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pleno mengabulkan permohonan dan memutuskan untuk menghapus pasal-pasal mengenai pidana penjara dan kurungan bagi dokter.

Dengan dikabulkanya Judicial review tersebut, apakah sekarang Dokter sudah merasa nyaman dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat?, terkait hal ini Dr. Fathoni Chadani Dekan Fakultas Kedokteran UMM menyatakan sedikit lega dengan pencabutan pidana penjara dan kurungan bagi dokter yang melanggar, ”pencabutan pidana penjara membuat para dokter sedikit lega, namun dalam pasal tersebut masih terdapat kata-kata denda yang menurut saya sama saja”, keluh dekan kelahiran Rembang ini. Menurutnya penetapan denda terhadap dokter yang melanggar administrasi serta kesalahan lain juga memiliki dampak yang sama besar dengan pidana penjara dan kurungan, yakni dokter tetap berada pada posisi yang sulit, ”kalau dokter tidak mampu membayar denda sebagaimana yang ditetapkan, toh nanti akan tetap dipenjara, karena tidak semua dokter itu kaya” tegas dokter lulusan S1 kedokteran UGM ini.

Lebih lanjut menurutnya pasal-pasal yang ada dalam UU kedokteran tersebut perlu ditinjau kembali, bapak yang memulai karir PNS diperbantukan PN Industri sandang pada tahun 1971 ini mengatakan, bahwa adanya sangsi denda perlu dikaji ulang ”palanggaran administrasi seharusnya diberikan sangsi administrasi, bukan sangsi pidana” harapnya. Mengenai Surat Ijin Praktek (SIP) dokter, yang hanya diberikan di tiga tempat sebagaimana terdapat Pasal 37 Ayat (2) UU Praktek Kedokteran, tanggapanya lebih lanjut, Pak Fathoni sapaan akrab dekan FK mengemukakan bahwa ”pembatasan tempat praktek memang perlu, akan tetapi soal jumlah harus diserahkan kepada Dinas Kesehatan di masing-masing daerah, karena tidak semua wilayah di Indonesia itu sama” tegas bapak yang menjabat dekan FK sejak tahun 2001 sampai sekarang.

 Dalam paparanya, bapak yang juga mantan Direktur D3 keperawatan UMM ini mengatakan, Dinas Kesehatan di masing-masing daerah pasti mengetahui jumlah penduduk di daerahnya dan jumlah ratio dokter yang ada, ”saya kira dalam rangka tugas perbantuan tidak perlu SIP bagi dokter yang bersangkutan, yang dalam hal ini adalah dokter spesialis, ini sebagai pengecualian dan cukup dengan surat tugas dari Dinas Kesehatan setempat” ungkapnya. (Pmg. Min)

Tidak ada komentar: