Jumat, 10 April 2009

Hidupkan Budaya Kritis Bangsa.

Oleh: Khusnul Amin*
Sering kali kita menemukan orang menuturkan ini-itu, bercerita panjang lebar dan tidak jarang berani bersumpah pula. Hal yang jarang kita sadari dan lakukan adalah mencari kebenaran atas apa yang telah kita dengar dari orang tersebut, tanpa perlu mengklarifikasi kembali, meng­-iya-kan saja dan merespon hal tersebut secara buta.
Satu contoh kasus yang terjadi, maraknya anti Ahmadiyah. Banyak orang islam saat ditanya tentang ini, sontak saja menjawab ini sebuah aliran sesat dan ‘wajib’ dibubarkan, coba saja lanjutkan pada pertanyaan selanjutnya, dari mana dikatakan sesat? Hampir pasti mereka akan menjawab ‘katanya dan katanya’ sampai sulit dicari sumber aslinya. Barangkali akan termaklumi jika kasus tersebut terjadi pada orang awam, orang yang tidak pernah sekolah akan kita maklumi mudah terprofokasi karena memang mereka tidak mungkin mencari kebenaran sendiri melalui pembacaan sumber, baik buku, majalah ataupun sumber tulisan lain, dan yang ada mereka akan hanya bertanya pada orang yang dianggapnya lebih tahu.
Tapi, jika hal di atas terjadi pada mahasiswa, sepertinya kita patut tarik nafas sejenak. Sangat disayangkan, budaya membaca generasi penerus bangsa saat ini sangat minim. Paling banter akan hanya membaca pelajaran kuliah, itupun saat mau ujian atau membuat tugas akhir. Bukan rahasia lagi jika minat membaca saat ini tereliminasi dan beralih kepada budaya melihat dan mendengar. Alhasil, pelajar, baik yang berstatus mahasiswa maupun sekolah menengah memiliki kecenderungan pasif.
Yang lebih ironis, mereka yang menyeru penolakan terhadap Ahmadiyah dengan demonstrasi, mereka berteriak-teriak, mengganggu lalu lintas, bahkan adu fisik dengan aparat keamanan. Yang menjadi pertanyaan, apa mereka semua faham dengan yang diperjuangkannya? Bukan bermaksud su’udhan, tapi coba lihat bukti. Sering kali demonstrasi dimotori oleh sebagian orang yang lebih kita kenal dengan istilah profokator, bisa dibilang merekalah sebenarnya yang tahu akar persoalannya, dan kebanyakan dari mereka hanya ikut-ikutan saja.
Ciptakan budaya membaca
Untuk keluar dari jeratan kepasifan, saya teringat kata bijak, ‘jangan mencari motifasi untuk dapat melakukan sesuatu, tapi lakukanlah sesuatu maka kamu akan termotifasi’. Satu peri bahasa yang sarat makna. Jika membaca butuh kondisi hati yang nyaman, maka untuk mendapat kondisi tersebut, orang harus memulai dulu, baru akan senang dan nyaman. Konon, memulai pekerjaan merupakan sebagian keberhasilan dari pekerjaan itu sendiri.
Jika pola pendidikan formal masih memanjakan siswanya, maka saya fikir orang-orang di sekitarnya-lah yang punya tanggung jawab memberi motifasi pada siswa tersebut untuk bebuat, dan bukan hanya melihat. Berbuat bermakna selalu mencari dan menganalisis kebenaran atas sesuatu yang belum pernah diketahui sebelumnya, agar mereka tidak hanya ikut-ikutan saja.

*Mahasiswa dan juga aktifis Pers kampus Unmuh Malang.

Tidak ada komentar: